Lombok Utara

Pelanggaran Laut Masih Banyak Terjadi di Gili Matra

Mataram (NTBSatu) – Pelanggaran di Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan (Matra), ternyata masih terjadi. Padahal, pengawasan di kawasan konservasi laut terus terus diperkuat.

Sejak tahun 2015 hingga 2024, Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang mencatat berbagai jenis pelanggaran yang mengancam kelestarian ekosistem bawah laut di Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan.

Pelanggaran yang paling sering ditemukan antara lain pelanggaran zonasi, penggunaan kapal berukuran tidak sesuai izin, penambangan pasir dan batu karang, serta penangkapan biota laut dilindungi.

Tak berhenti di situ, masih ditemukan juga aktivitas budidaya tanpa izin, kerusakan ekosistem akibat aktivitas wisata yang tak terkendali, dan bahkan penggunaan kompresor serta bahan beracun untuk menangkap ikan.

“Masih ada oknum yang nekat melanggar aturan demi keuntungan cepat. Tetapi kami tidak tinggal diam. Setiap laporan kami tindak lanjuti, dan patroli kami tingkatkan,” tegas Koordinator Wilayah Kerja Kawasan Konservasi Gili Matra, Martanina di Gili Air, Selasa, 7 Oktober 2025.

Menurutnya, tahun 2023 menjadi puncak pelanggaran selama hampir satu dekade terakhir. Namun, berkat koordinasi antara BKKPN Kupang, PSDKP, TNI AL, Polairud, dan masyarakat lokal, angka pelanggaran berhasil ditekan kembali pada 2024.

“Kami rutin melakukan patroli gabungan dan sosialisasi di lapangan. Kalau dulu masyarakat takut dengan petugas, sekarang mereka malah ikut membantu melapor. Itu kemajuan besar,” tambah Martanina.

Di sisi lain, aktivitas pariwisata bahari yang semakin meningkat juga menjadi tantangan tersendiri. BKKPN Kupang mencatat, lebih dari 95 persen aktivitas di kawasan konservasi merupakan pariwisata alam perairan seperti menyelam.

Koordinator Wilayah Kerja Kawasan Konservasi Gili Matra Martanina
Koordinator Wilayah Kerja Kawasan Konservasi Gili Matra, Martanina. Foto: Sita Saraswati

Martanina menegaskan, pihaknya bukan anti terhadap wisata, namun tegas terhadap pelanggaran yang merusak lingkungan.

“Wisata boleh jalan, tapi harus bertanggung jawab. Jangan karena ingin puas lihat karang, malah nginjak karang. Jangan karena ingin banyak tamu, lupa batas kawasan,” tegasnya.

Suara dari Laut: Nelayan Ikut Merasakan Dampak

Di sisi lain, nelayan setempat juga mulai merasakan langsung dampak dari aktivitas yang merusak ekosistem laut.

Misbah, Ketua Komunitas Nelayan Desa Gili Indah, Gili Air, menceritakan bagaimana kondisi laut berpengaruh langsung terhadap pendapatan mereka.

“Sekarang jumlah tangkapan makin kecil. Kemarin hanya dapat 600 ekor, per 200 ekor hanya Rp160 ribu,” ceritanya.

Ia juga menyesalkan adanya wisatawan atau operator yang masih menggunakan krim atau bahan kimia saat snorkeling, karena hal itu bisa membunuh karang dan biota laut di sekitarnya.

“Kalau karang mati, ikan-ikan yang bernaung juga hilang. Padahal dari tamu-tamu itulah kami ikut hidup tetapi kalau laut rusak, nelayan juga yang kena dampaknya,” tutur Misbah.

Misbah menekankan, pentingnya menjaga kawasan snorkeling dan seluruh biota laut di tiga Gili agar tetap lestari.

“Jangan sampai ada yang merusak tiga Gili ini. Kalau lautnya hancur, kami mau cari nafkah di mana lagi,” tegasnya. (*)

Berita Terkait

Back to top button