Kisah Reza Aprianto, Mahasiswa Yatim Piatu Prodi PGSD STKIP Taman Siswa Bima

Bima (NTBSatu) – Sejumlah mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) STKIP Taman Siswa Bima akan menjalani yudisium hari ini, Senin, 29 September 2025.
Terdapat salah satu mahasiswa bernama Reza Aprianto yang ikut yudisium tersebut. Sejak kecil, Reza tak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang guru, ia bermimpi menjadi dokter.
Ibunda tercinta menyiapkan dengan sebaik mungkin untuk mewujudkan harapan itu, mulai dari material maupun moril.
Namun takdir berkata lain. Ibunda tercinta lebih dulu berpulang dan sang ayah memilih untuk melanjutkan hiudp bersama keluarga baru.
Sejak masa SMP, Reza hidup bersama adik perempuannya dan nenek tercinta sosok yang menjadi pengganti ibu baginya.
Meski mimpinya untuk menjadi dokter pupus, Reza tidak pernah berhenti mengejar harapan ibunya agar ia tetap melanjutkan pendidikan. Ia pun menempuh kuliah di Jogja, pada jurusan Teknik Perminyakan.
Namun, di tengah perjuangan itu, cobaan kembali datang. Nenek tercinta, yang selama ini menjadi tempat Reza bernaung, dipanggil oleh Allah Swt.
Belum genap ia sembuh dari luka kehilangan, di semester 4, sang ayah menyusul pergi untuk selamanya. Duka yang silih berganti membuat Reza terombang-ambing.
Ia bolak-balik antara Bima dan Yogyakarta untuk mengurus administrasi meninggal ayahnya, hingga akhirnya memutuskan berhenti kuliah.
Namun, berkat dorongan keluarga, Reza bangkit kembali. Ia memulai lembaran baru sebagai mahasiswa Prodi PGSD di STKIP Taman Siswa Bima.
Dari titik nol, ia kembali berjuang. Perjuangannya bukan perjuangan biasa pada semester pertama, Reza berhasil meraih IPK sempurna 4,00. Hingga semester 4, IPK-nya tetap cemerlang, 3,98.
Tetapi ujian kembali datang. Suatu hari, tepat di depan Kampus 2 STKIP Taman Siswa Bima, Reza Aprianto mengalami kecelakaan. Kakinya patah, dan harus menjalani tiga kali operasi penanaman pen di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB.
Ia terpaksa cuti satu semester. Rasa sakit, rasa putus asa, pernah menghampiri. Meski harus ke kampus dengan alat bantu jalan, Reza tidak menyerah.
Lulus dengan IPK 3,78
Ia bangkit lagi, mengejar ketertinggalan, hingga akhirnya hari ini, ia resmi menyandang gelar sarjana dengan IPK 3,78.
Reza tidak hanya seorang pejuang, tapi juga sosok yang penuh potensi. Ia menguasai Bahasa Inggris, memiliki keterampilan desain, dan IT. Bahkan, mampu menghasilkan karya ilmiah yang terbit di jurnal terakreditasi Sinta 4. Semua itu ia jalani dengan penuh kemandirian.
Di bulan yang sama, September ini Reza Aprianto sama-sama yudisium bersama adiknya yang juga telah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta.
Meski telah kehilangan ayah, ibu, dan nenek tercinta, Reza tidak pernah kehilangan semangat dan terus menyemangati adik perempuan satu-satunya.
Pada hari yudisium ini pun pen yang dipasang di kakinya akibat kecekalan belum dilepas, karena Reza tidak ingin pelepasan pen mengganggu kuliahnya. Sekaligus menjadi saksi akan perjuaangan dan duka yang ia alami selama proses kuliah ini.
Hari ini Reza telah membuktikan kesulitan boleh datang silih berganti, tetapi harapan dan keteguhan hati akan selalu menuntun pada kemenangan. (*)