NTB di Pusaran Pinjol: Kredit Macet Tertinggi Nasional, Ancaman Serius Bagi Ekonomi Rumah Tangga dan Daerah

Mataram (NTBSatu) – Provinsi NTB menempati posisi teratas sebagai daerah dengan rasio kredit macet pinjaman online (pinjol) tertinggi di Indonesia sepanjang 2025.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, pada Januari 2025 tingkat wanprestasi lebih dari 90 hari (TWP 90) di NTB berada di angka 3,69 persen.
Namun alih-alih membaik, tren justru memburuk hingga mencapai 4,21 persen pada April 2025, dan kembali naik menjadi 4,36 persen per Juni 2025.
Angka ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata nasional yang hanya 2,85 persen.
Secara total, outstanding pinjol nasional pada Juni 2025 menembus Rp83,47 triliun, dengan Rp2,38 triliun di antaranya masuk kategori macet.
10 Provinsi dengan Kredit Macet Pinjol Tertinggi per Juni 2025
- Nusa Tenggara Barat (4,36 persen)
- DKI Jakarta (3,56 persen)
- Jawa Barat (3,41 persen)
- DI Yogyakarta (3,31 persen)
- Jawa Timur (3,29 persen)
- Kalimantan Utara (3,08 persen)
- Lampung (2,81 persen)
- Banten (2,73 persen)
- Sumatra Selatan (2,66 persen)
- Sumatra Barat (2,40 persen)
Posisi NTB di puncak daftar ini terasa ironis. Dibandingkan DKI Jakarta dan Jawa Barat yang memiliki pengguna pinjol jauh lebih banyak, provinsi dengan skala ekonomi lebih kecil justru menanggung beban gagal bayar paling berat.
Dampak Kredit Macet Pinjol pada Rumah Tangga
Menurut pengamat ekonomi Universitas Mataram, Saipul Arni Muhsyaf, Ph.D, tingginya rasio kredit macet pinjol di NTB langsung mengancam stabilitas ekonomi rumah tangga.
“Masyarakat terbebani utang berbunga tinggi dan denda keterlambatan. Sehingga, daya beli untuk kebutuhan pokok seperti pangan dan kesehatan menurun. Kondisi ini juga memicu risiko sosial seperti stres finansial dan konflik keluarga. Terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang terjebak dalam siklus utang tidak produktif,” jelasnya pada NTBSatu, Minggu, 28 September 2025.
Secara makro, Saipul menegaskan tren kredit macet pinjol berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah. Penyaluran kredit produktif ke UMKM bisa terhambat karena lembaga keuangan lebih berhati-hati. Jika dibiarkan, hal ini akan menekan PDRB NTB dan mengganggu program inklusi keuangan.
“OJK dan pemerintah daerah harus lebih nge-gass lagi memitigasi risiko melalui penindakan pinjol ilegal dan edukasi literasi keuangan,” ujarnya.
Judi Online Jadi Pemicu Kredit Macet
Lebih jauh, Saipul mengungkapkan kemungkinan kenaikan kredit macet pinjol di NTB dengan maraknya praktik judi online (judol).
“Banyak masyarakat meminjam dana untuk kebutuhan spekulatif seperti perjudian, hingga akhirnya terjebak dalam siklus utang berbunga tinggi akibat kekalahan bertaruh,” terangnya.
Fakta di lapangan menguatkan pernyataan tersebut. Kementerian Sosial telah membekukan permanen 20 rekening bantuan sosial (bansos) di Kota Mataram karena terindikasi digunakan untuk judi online.
Kepala Dinas Sosial NTB, Nunung Triningsih menyebut, sejauh ini terdapat sekitar 20 rekening penerima bansos di Kota Mataram yang terindikasi dipakai untuk transaksi judi online.
“Iya baru 20 itu. Kemarin saya dengar ada tambahan di Sumbawa, tapi saya belum cek lagi. Karena datanya bisa berubah setiap saat,” ujarnya.
Dana pinjaman yang seharusnya produktif justru habis untuk spekulasi, sehingga memperparah rasio kredit macet. Akibatnya, kemampuan masyarakat untuk melunasi utang semakin menurun.
Ancaman Struktural bagi NTB
Dari sisi makro, kredit macet akibat judi online dapat melemahkan geliat ekonomi NTB yang sudah menunjukkan tanda-tanda kelesuan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi NTB pada triwulan II 2025 berada di posisi ke-37 dari 38 provinsi di Indonesia.
NTB mengalami kontraksi -0,82 persen, hanya lebih baik dari Papua Tengah yang terpuruk hingga -9,83 persen.
Saipul menilai tren ini berbahaya bagi masa depan NTB. Dana yang seharusnya menopang sektor riil dan UMKM justru tersedot ke aktivitas spekulatif. Hal ini berdampak pada lambatnya penciptaan lapangan kerja, menurunnya PDRB, melemahnya daya beli masyarakat, hingga berkurangnya kepercayaan investor.
“Jika dibiarkan, NTB berisiko terperangkap dalam kemiskinan struktural akibat lemahnya basis ekonomi produktif,” ujar Saipul. (*)