ADVERTORIALBappeda NTB

Bea Cukai Mataram Sosialisasikan Rokok Ilegal di Tiga Daerah di Pulau Lombok

Mataram (NTBSatu) – Bea Cukai Mataram mengadakan kegiatan sosialisasi terkait rokok ilegal di tiga daerah di Pulau Lombok, yakni Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Timur.

Kepala Kantor Bea Cukai Mataram, I Made Aryana, menyebutkan, sosialisasi ini sebagai bentuk sinergi bersama dengan Pemda setempat dalam memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di bidang penegakan hukum tersebut.

“Kegiatan ini digelar guna memberikan edukasi kepada masyarakat tentang dampak negatif rokok ilegal,” ucap Aryana.

IKLAN

Adapun lokasi pertama sosialisasi, berpusat di Taman Jangkar, Kota Tua Ampenan dalam acara Festival Kota Tua Ampenan yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Mataram, Sabtu, 24 Agustus 2024 lalu.

Sementara, pada Minggu, 25 Agustus 2024, di Lapangan Tugu Selong dalam acara senam massal yang diselenggarakan Dinas Perindustrian Lombok Timur.

Kemudian, sosialisasi di Pantai Elak-elak Sekotong berlangsung pada acara Pesona Lombok Barat Sail Boat Race 2024 oleh Dinas Pariwisata Lombok Barat.

IKLAN

Dalam acara di Kota Tua Ampenan dan Sail Boat Race Pantai Elak-elak, hadir sebagai narasumber adalah Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan, Adi Cahyanto.

Sedangkan untuk acara di Lapangan Tugu Selong sebagai narasumber adalah Pejabat Fungsional, Dhion Priharyanto Prasetya, dan pegawai Seksi KIP, Lalu Maulana Firdaus Kukuh.

Secara umum, para narasumber menyampaikan dampak negatif mengonsumsi rokok ilegal, yaitu: dapat merugikan penerimaan negara, menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, memunculkan perokok pemula dari anak-anak, dan bahaya kesehatan yang lebih tinggi karena kandungan dalam rokok ilegal tidak teruji.

Para narasumber juga menjelaskan ciri-ciri rokok ilegal yang beredar agar dapat dikenali masyarakat.

“Ciri-ciri rokok ilegal, diantaranya adalah rokok berpita cukai palsu, berpita cukai bekas, tanpa dilekati pita cukai dan berpita cukai yang berbeda antara di pita cukai dan bungkusnya,” ujar Made Aryana.

Mengenal Cukai dan Ketentuannya

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Kemudian, ada beberapa kriteria sehingga barang-barang tertentu dapat dikenakan cukai, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Untuk diketahui, hasil tembakau merupakan barang yang dikenai cukai bertarif paling tinggi. Berikut ketentuannya:

A. Untuk yang dibuat di Indonesia:

  1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik.
  2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

B. Untuk yang diimpor:

  1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk
  2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya. Sebagaimana definisi dan kriteria barang kena cukai, tarif cukai juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Larangan dan Sanksi

Sebagai informasi, salah satu pelanggaran terhadap cukai adalah peredaran rokok ilegal. Pengedar ataupun penjual rokok ilegal termasuk melakukan pelanggaran yang dapat berpotensi sebagai pelanggaran pidana. Sanksi untuk pelanggaran tersebut mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Ancaman pidana ini diatur dalam pasal 57 dan pasal 58 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

Dalam Pasal 57, “Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Dalam pasal 58, “Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”

Pemanfataan Hasil Cukai

Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Mataram, Adi Cahyanto mengatakan, cukai adalah instrumen penerimaan negara. Selain pengendalian, cukai dapat berdampak pada penerimaan negara. Karena, terdapat pungutan yang masuk ke negara melalui cukai.

“Jadi, cukai bermanfaat untuk mengawasi peredaran. Apabila tidak terdapat pita cukai dalam bungkus rokok, kami akan melakukan penindakan,” beber Adi.

Sebagai informasi, salah satu pemanfaatan cukai berupa DBH-CHT yang dialokasikan setiap tahun di berbagai daerah, termasuk NTB.

Menurut Kepala Bappeda NTB, Dr. H. Iswandi, NTB memperoleh DBH-CHT lantaran menjadi salah satu daerah yang paling produktif memproduksi tembakau dan menghasilkan cukai.

“Pemerintah provinsi serta pemerintah kota dan kabupaten harus bersinergi agar pemanfaatan DBH-CHT dapat tepat sasaran,” pungkas Iswandi. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button