Pejabat Dinsos Lobar Tersangka Korupsi Pokir DPRD tak Ditahan karena Sakit
Mataram (NTBSatu) – Kejari Mataram hingga kini belum menahan Dewi Dahliana, tersangka dugaan korupsi dana Pokok-pokok Pikiran (Pokir) DPRD Lombok Barat (Lobar) tahun 2024. Alasannya, Kabid Rehabilitasi Sosial (Resos) Dinas Sosial (Dinsos) Lobar itu dalam keadaan sakit.
“Belum, (sedang) sakit dia (Dewi Dahliana) itu,” terang Kepala Kejari Mataram, Gde Made Pasek Swardhayana, Rabu, 31 Desember 2025.
Made tidak menjelaskan rinci sakit yang tersangka Dewi Dahliana alami. Kendati demikian, ia menegaskan kasus korupsi Pokir DPRD Lombok Barat terus berjalan.
Saat ini, penyidik sedang melengkapi berkas perkara para tersangka. “Semua sudah berjalan. Sudah jadi berkas semua,” ungkapnya.
Selain Dewi Dahliana, penyidik Kejari Mataram juga menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah Kabid Pemberdayaan Sosial (Dayasos) Dinas Sosial Lombok Barat, M. Zakaki; anggota DPRD Lombok Barat, Ahmad Zainuri; dan pihak swasta berinisial R.
Penyidik telah menahan ketiga tersangka tersebut. Pelaksanaan pelimpahan para tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut rencananya berlangsung pada 2026 mendatang.
“(Secepatnya) tahap dua (pelimpahan tersangka dan barang bukti),” sebutnya.
Riwayat Kasus dan Peran Tersangka
Kasus ini terjadi tahun 2024. Dinas Sosial Lombok Barat menganggarkan kegiatan belanja barang untuk dijual atau diserahkan ke masyarakat sebesar Rp22,2 miliar. Itu terbagi dalam 143 kegiatan.
“100 kegiatan di antaranya merupakan pokir dari anggota DPRD Lombok Barat,” sebutnya.
Paket Pokir yang menyeret para tersangka menyangkut paket dengan pagu dana sebesar Rp2 miliar. Tempatnya di Bidang Pemberdayaan Sosial sebanyak 8 paket dan Bidang Rehabilitasi Sosial pada Dinas Sosial Lobar sebanyak 2 paket.
M. Zakaki berperan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Sebagai PPK dan KPA, Zakaki tidak melakukan survei harga dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Ia bergerak berdasarkan ketersediaan anggaran dan Standar Satuan Harga (SSH) Lombok Barat 2023.
“Sehingga harga yang ditetapkan dalam kontrak oleh PPK atau KPA jauh lebih mahal dari harga pasar. Sehingga mengakibatkan terjadinya kemahalan harga,” ujarnya.
M. Zakaki juga melakukan pengaturan pemenang bersama tersangka Ahmad Zainuri. Mereka menunjuk langsung penyedia tertentu, yaitu tersangka R.
“Tersangka tidak melakukan pengendalian kontrak dan pengawasan pelaksanaan kegiatan. Sehingga pekerjaan tidak sesuai dengan SPK atau kontrak,” katanya.
Zakaki juga menyetujui pembayaran kepada penyedia yang tidak melaksanakan pekerjaan. Akibat tindakan para tersangka, muncul kerugian keuangan negara sebesar Rp1,7 miliar. Angka itu berdasarkan penghitungan Inspektorat Lombok Barat.
“Kerugian negara itu terjadi karena mark-up dan belanja fiktif,” tambahnya.
Penyidik menjerat para tersangka dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)



