Data BPS 2025: NTB Catat Angka Pernikahan Tertinggi di Kalangan Milenial dan Gen Z
Mataram (NTBSatu) – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tren menunda pernikahan di kalangan generasi muda Indonesia masih berlanjut pada 2025.
Dalam laporan Statistik Pemuda Indonesia 2025, BPS melaporkan penduduk berusia 16 hingga 30 tahun yang telah menikah pada 2025 berada di angka 27,92 persen.
Angka ini menurun 1,18 persen poin jika membandingkan dengan kondisi pada 2024 yang tercatat sebesar 29,10 persen.
Meski secara nasional mengalami penurunan, kondisi berbeda terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Provinsi ini tercatat sebagai daerah dengan persentase Milenial dan Gen Z menikah tertinggi di Indonesia.
Pada 2025, sebanyak 34,22 persen penduduk usia 16–30 tahun di NTB telah berstatus menikah.
Fenomena tingginya angka pernikahan di NTB juga tercermin dari pengalaman sejumlah masyarakat. Wawan, warga Lombok Timur, mengaku menikah pada usia 28 tahun karena merasa telah cukup matang secara mental dan ekonomi, serta telah menemukan pasangan yang cocok.
“Di usia itu saya merasa sudah siap. Pekerjaan sudah ada, pasangan juga sudah cocok. Selain itu, keluarga besar juga mendorong agar segera menikah dan punya momongan,” kata Wawan.
Salah seorang warga Mataram, Shafira yang menikah pada usia 23 tahun setelah menyelesaikan pendidikan strata satu (S1). Menurutnya, menikah di usia tersebut tergolong ideal, khususnya bagi perempuan.
“Setelah lulus kuliah, saya merasa sudah siap menikah. Menurut saya usia segini pas, apalagi untuk perempuan,” ujarnya.
Shafira menilai faktor biologis turut menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan menikah di usia muda. “Perempuan kan punya fase biologis yang lebih singkat dibandingkan laki-laki. Kalau terlalu tua, takutnya sudah sulit punya anak,” tambahnya.
Budaya Lokal Dorong Tingginya Pernikahan Anak
Di sisi lain, Baiq Dewi Anjani, warga Lombok Tengah menilai budaya lokal juga turut menjadi faktor yang mendorong tingginya angka pernikahan.
Di masyarakat, masih berkembang anggapan bahwa seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan dan memiliki pekerjaan telah cukup matang untuk menikah.
Masyarakat kerap mempersepsikan laki-laki sudah mampu menafkahi keluarga. Meskipun tingkat penghasilannya belum tentu tinggi.
Selain itu, faktor budaya Sasak juga berpengaruh, salah satunya melalui sistem banjar. Dalam sistem ini, sebagian biaya pernikahan dapat ditanggung secara kolektif oleh banjar.
“Jadi, orang tua mempelai biasanya telah mempersiapkan dana tersebut sejak jauh hari sebagai modal pernikahan anaknya. Sehingga beban biaya tidak sepenuhnya ditanggung oleh pasangan yang akan menikah,” ungkap Dewi.
Provinsi dengan Angka Pernikahan Tertinggi di Indonesia
Di bawah NTB, Jawa Timur menempati posisi kedua dengan 33,8 persen penduduk usia muda yang sudah menikah.
Selanjutnya, Sulawesi Barat mencatat angka 32,71 persen. Berikutnya Jambi sebesar 32,49 persen, Sumatera Selatan 32,32 persen, dan Lampung dengan 31,9 persen.
Sementara itu, Papua menjadi provinsi dengan persentase Milenial dan Gen Z menikah terendah pada 2025, yakni 15,57 persen. Tidak jauh berbeda, DKI Jakarta, berada pada posisi kedua. Tercatat 16,23 persen penduduk usia muda yang telah menikah. (*)



