OpiniWARGA

Pentingnya Kebijakan Publik Berbasis Maqasid Syariah: Belajar dari Tragedi Sumatra

Oleh: Sambirang Ahmadi – Anggota DPRD NTB dan Mahasiswa Doktoral Studi Islam UIN Mataram

Tragedi banjir besar yang melanda Sumatra pada akhir November 2025 memberikan pelajaran berharga bagi seluruh daerah di Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Barat. Laporan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mencatat kerugian ekonomi langsung mencapai Rp2,2 triliun, sementara dampaknya terhadap perekonomian nasional mencapai Rp68,67 triliun, atau setara dengan penurunan 0,29 persen PDB Indonesia.

Angka ini menggambarkan betapa mahalnya biaya ekologis yang harus ditanggung ketika tata kelola lingkungan tidak disiapkan secara tepat. Kerusakan hulu, deforestasi, dan ekspansi lahan yang tak terkendali ternyata dapat membalik manfaat ekonomi menjadi bencana sosial dalam hitungan jam.

Kondisi ini sangat relevan bagi NTB, khusunya Pulau Sumbawa, yang dalam dua dekade terakhir mengalami transformasi besar akibat dua tekanan utama: pertambangan yang semakin masif dan ekspansi jagungisasi yang tak terbendung. Bukit-bukit yang dahulu hijau kini berubah menjadi lereng terbuka, rawan erosi, dan kehilangan vegetasi permanen. Pada saat yang sama, tambang rakyat (IPR) mulai berkembang di berbagai titik tanpa disertai kapasitas pengawasan dan rehabilitasi yang memadai.

Berbeda dengan pertambangan skala besar yang umumnya memiliki Amdal ketat, standar reklamasi, dan kewajiban pengelolaan lingkungan yang terukur, tambang rakyat (IPR) justru menghadirkan risiko yang jauh lebih tinggi. Sebagian besar IPR tidak melalui proses UKL-UPL, tidak memiliki rencana pengelolaan limbah, tidak menerapkan konservasi tanah dan air, serta tidak mempunyai kewajiban reklamasi yang jelas. Inilah yang membuat aktivitas tambang rakyat sangat rentan menyebabkan erosi, sedimentasi sungai, hilangnya vegetasi hulu, dan percepatan banjir bandang. Jika tidak dikendalikan, tambang rakyat berpotensi menjadi pemicu utama krisis ekologis NTB, terutama di Pulau Sumbawa yang topografinya curam dan sensitif terhadap perubahan tutupan lahan.

Data CELIOS bahkan menunjukkan bahwa desa berbasis tambang memiliki risiko banjir 2,25 kali lebih tinggi daripada desa non-tambang. Jika kondisi ini bergabung dengan fenomena jagungisasi yang menggerus hutan rakyat dan kawasan resapan, maka kerentanan ekologis di NTB, khususnya di pulau Sumbawa (terutama bagian timur: Bima, Dompu, Sumbawa) berada di ambang yang sangat serius—terutama menjelang puncak siklon tropis yang diprediksi terjadi pada bulan Desember ini.

Maqasid Syariah sebagai Kompas Etis Kebijakan Publik

Dalam perspektif Islam, setiap kebijakan publik harus berpijak pada prinsip maqasid syariah dan bermuara pada kemaslahatan (islahul ummah). Dalam konteks lingkungan, maqasid al-syariah dan fiqh al-bi’ah menawarkan kerangka etik yang sangat kuat untuk memperkuat kebijakan publik di NTB.

Tiga prinsip maqasid yang harus menjadi landasan kebijakan lingkungan NTB adalah:

  1. Hifz al-Nafs (menjaga jiwa). Banjir bandang, longsor, dan luapan sungai adalah ancaman nyata bagi keselamatan warga;
  2. Hifz al-Mal (menjaga harta). Kerusakan rumah, ladang, dan infrastruktur publik adalah kerugian besar yang semestinya dapat dicegah melalui regulasi dan pengawasan yang tepat;
  3. Hifz al-Bi’ah (menjaga lingkungan). Maqasid kontemporer ini menegaskan bahwa bumi adalah amanah; merusaknya adalah bentuk ifsad (kerusakan).

Kaidah syariah mengingatkan: “Dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih.” Mencegah kerusakan lebih utama daripada mengejar manfaat.

Dengan kerangka ini, kebijakan yang membiarkan degradasi hulu, penebangan massif untuk jagung, atau operasi tambang rakyat tanpa reklamasi bukan hanya tidak bijak secara ekologis, tetapi juga bertentangan dengan etika Islam.

NTB di Persimpangan Jalan

NTB sebagai satu kesatuan wilayah memiliki potensi ekonomi yang besar. Dari tambang, jagung, peternakan, hingga perikanan darat, semuanya menopang pertumbuhan ekonomi. Namun tanpa keseimbangan ekologis, potensi yang besar itu dapat berubah menjadi sumber ancaman.

Kerentanan ekologis NTB tidak terjadi secara merata. Pulau Sumbawa, terutama wilayah Bima, Dompu, dan Sumbawa, merupakan lokus paling rawan akibat dua tekanan besar sekaligus: aktivitas pertambangan yang masif dan ekspansi jagungisasi yang telah menghabiskan tutupan vegetasi di kawasan perbukitan dan hulu DAS. Lombok memang menghadapi masalah ekologis lain seperti tekanan alih fungsi ruang dan turunnya kualitas pesisir, tetapi skala degradasi ekologinya tidak setajam Sumbawa.

Karena itu NTB memerlukan langkah strategis:

  • audit menyeluruh kegiatan pertambangan, terutama tambang rakyat dengan fokus utama di kawasan hutan yang rawan;
  • kebijakan jagung yang lebih berorientasi konservasi dan berbasis agroforestry;
  • rehabilitasi hulu DAS dan penanaman vegetasi permanen di daerah perbukitan;
  • penguatan early warning system di desa-desa rawan banjir bandang;
  • penegakan reklamasi sebagai kewajiban nyata, bukan administratif semata.

Jika Sumatra mengalami kerugian triliunan akibat degradasi ekologis, NTB tidak boleh menunggu bencana yang sama terjadi. Kebijakan publik berbasis maqasid syariah mengajarkan kita untuk mencegah, melindungi, dan memulihkan sebelum terlambat.

Penutup

Islam tidak menolak pertumbuhan ekonomi; Islam menolak pembangunan yang mengabaikan keseimbangan alam. Dengan menjadikan maqasid syariah sebagai fondasi, NTB dapat menempuh jalur pembangunan yang berkah, berkelanjutan, dan berpihak pada keselamatan warga.

Pulau Sumbawa telah memberikan kita peringatan melalui gundulnya gunung-gunung dan meluasnya tambang. Tragedi Sumatra memberi kita contoh keras dari akibat kelalaian ekologis.

Sekarang adalah waktunya NTB memilih jalan yang lebih bijak: pembangunan yang menjaga jiwa, harta, dan lingkungan, sebagaimana diajarkan oleh maqasid syariah. (*)

Berita Terkait

Back to top button