Lombok Timur

Nelayan di Lombok Timur Tercekik Aturan Beli BBM Subsidi

Lombok Timur (NTBSatu) – Nelayan di Kabupaten Lombok Timur, kini menghadapi tantangan berat mengakses Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.

Regulasi baru yang rumit serta pemangkasan kuota, memaksa mereka membeli bahan bakar non-subsidi dengan harga jauh lebih mahal.

Kondisi ini secara langsung mengancam keberlangsungan mata pencaharian ribuan nelayan tradisional di wilayah tersebut.

Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Lombok Timur, Amin Abdullah menyebut, para nelayan kecil kini wajib memiliki sejumlah dokumen yang sebelumnya tidak pernah mereka urus.

Pemerintah mensyaratkan penggunaan barcode (kode batang, red) untuk setiap pembelian. Sementara, proses pembuatannya menuntut nelayan melampirkan Kartu Kusuka, Nomor Induk Berusaha (NIB), NPWP, KTP, hingga E-Pas Kecil.

Amin menegaskan, mayoritas nelayan tradisional tidak memahami dan kesulitan memenuhi persyaratan berlapis tersebut.

“Sementara di Lombok Timur kebanyakan nelayan kecil, nelayan tradisional, yang tidak pernah kepikiran untuk bikin barcode,” ucapnya, Jumat, 10 Oktober 2025.

Ia secara khusus menyoroti, kewajiban memiliki E-Pas Kecil atau surat tanda kepemilikan kapal sebagai hambatan utama.

Para nelayan menghadapi birokrasi yang lebih panjang karena dokumen ini tidak diterbitkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), melainkan oleh Syahbandar.

“Sekarang harus ada E-Pas Kecil surat kapal. Ini yang sulit pembuatannya,” jelasnya.

Nelayan Terpaksa Beli BBM Non-Subsidi

Sistem ini sangat berbeda dengan kebijakan sebelumnya, yang hanya meminta nelayan menunjukkan KTP atau surat keterangan dari kepala desa.

Aturan yang memberatkan ini mendorong banyak nelayan untuk beralih ke BBM non-subsidi, seperti Pertamax.

Mereka juga terpaksa membeli BBM eceran di pesisir dengan harga yang melambung tinggi demi bisa melaut.

Sayangnya, biaya operasional yang membengkak sering kali tidak sepadan dengan nilai hasil tangkapan ikan.

Amin menyebut, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lebih dari 16.000 nelayan kecil dengan kapal berukuran 5-6 GT beroperasi di Lombok Timur. Jumlah besar ini belum termasuk para nelayan dengan kapal yang lebih besar.

Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah agar segera mengevaluasi kembali kebijakan tersebut untuk mencegah ribuan nelayan kehilangan sumber pendapatan utama mereka. (*)

Berita Terkait

Back to top button