HEADLINE NEWS

Ancaman Hutan Terakhir Kota Bima di Tengah Anggaran BTT yang Terkuras

Pemuda Melawan Perambahan

Hari itu, baik Lurah Lampe maupun BKPH, sepakat tidak ada aksi perambahan oleh kelompok warga yang ilegal maupun yang mengajukan izin. Tapi perbedaan prinsip tercermin dari pernyataan kedua pihak. Lurah Lampe tak ingin ada lagi izin baru, apapun bentuknya, demi menjaga hutan yang tersisa.

Sementara pihak BKPH yang berwenang atas kawasan, memberi peluang izin, asal syarat syarat terpenuhi dan terikat dengan aturan.  “Secara administrasi ini memang masuk wilayah Lampe. Tapi kami kan tidak mengenal itu. Kami mengenal kawasan,” ungkap Dedi.

Sisi lain, turunnya tim ke lokasi itu tidak lepas dari laporan warga. Bahkan keluhan itu terbuka diunggah di sosial media Facebook. Salah satunya “Gizan Hila”. Dalam unggahannya 30 September 2025, tampak kondisi hutan Lampe, yang berdekatan dengan Desa Pesa Kecamatan Wawo dan Desa Kaowa Kecamatan Lambitu. Sebagian kawasan ini adalah hulu dari Kota Bima yang sudah hampir habis dibabat  untuk tanaman Jagung.

“Ini bukan soal batas wilayah. Ini adalah  masalah Masyarakat Kota Bima yang berada di  hilir. Ketika wilayah ini dibuka sebagaimana didambakan penggarap lahan, selesai sudah Kota Bima, banjir bandang akan hadir tiap tahunnya,” ujar “Gizan Hila”.

Pemilik nama asli Abdul Azis ini mengaku kesal, bahkan marah dengan aktivitas perambahan di hulu. “Ingat apa yang saya sampaikan, kalau situasinya seperti ini, banjir akan datang setiap tahun,” ujarnya dihubungi NTBSatu, Senin 6 Oktober 2025.

Maka, demi menjaga agar informasinya bisa dipertanggungjawabkan, setiap  unggahannya disertai foto, video dan titik koordinat. Bahkan tak segan segan ia mention pejabat terkait. Seperti BKPH Maria Donggomasa, Wali Kota Bima, Gubernur dan Wakil Gubernur NTB.

Sebagian warga di kawasan hulu Lambitu sebenarnya sudah merasakan langsung kegerahan akibat perubahan iklim. Warga setempat sudah ada yang mulai menyuarakan penolakan perluasan ladang lewat izin yang diterbitkan BPKPH Maria Donggomasa.

“Prinsipnya, kami menolak ada pengajuan izin baru untuk kelompok. Yang ilegal saja sudah tak terkendali,” ujar Gafur, pemuda Desa Kaowa, Selasa 7 Oktober 2025.

Sikap mereka didukung Kadus setempat, dengan terus mengingatkan warga dan pihak terkait, berhenti merambah hutan yang tersisa. Ancaman hutan botak semakin mengkhawatirkan, karena ada pengajuan izin baru. Satu kelompok, isinya sekitar 130 orang. “Bayangkan kalau satu orang akan menguasai 1 hektar. Jelas sudah, ratusan hektar yang akan alih fungsi,” sesal Gafur.

Desa Kaowa terletak pada elevasi sekitar 700 Mdpl atau yang tertinggi di bagian hulu. Selain berbatasan langsung dengan Kelurahan Lampe di bagian Utara, desa juga “dikepung” perbatasan desa lainnya. Desa Ntori Kecamatan Wawo. Desa Pesa, Desa Tarlawi, Desa Teta dan Desa Londu Kecamatan Kecamatan Lambitu. Di belahan Utara lainnya, berbatasan dengan Desa Ntonggu Kecamatan Palibelo.

“Semua desa itu semangat tanam Jagung. Sebagian desa kami juga sudah ikut tanam Jagung. Jadi bisa dilihat sendiri, kondisinya seperti apa sekarang. Sudah gersang,” ujarnya.

Tim Resort Kota BKPH Maria Donggomassa bersama Lurah Lampe, beberapa saat setelah mengecek dugaan perluasan lahan rambahan di Hutan Lampe. Foto: Istimewa

Sementara Kepala Desa Kaowa berdiri di antara dua kepentingan. Apalagi dengan jabatannya yang politis. Kades H. Junaidin mengaku harus mengakomodir keinginan pengajuan kelompok tani untuk perladangan. Tapi juga tetap mendengar aspirasi warga yang menolak. Tapi sekuat apapun penolakannya, kewenangan kawasan tetap ada di BKPH.

“Sepanjang memenuhi syarat, izinnya pasti keluar dari BKPH,” kata Junaidin hari yang sama.

Sisi lain, Junaidin tak merinci soal kelompok baru yang sedang mengajukan perluasan di Desanya. Termasuk jumlah luasan dan anggota kelompoknya. “Saya belum tahu persis, karena ini masih pengajuan,” ujarnya.

Saat yang sama, potensi masalah baru justeru muncul. Hutan yang tersisa sekitar 200 hektar di bukit yang terpasang Tower Telkomsel dan pemancar TVRI juga jadi target perluasan desa tetangga. “Ini yang kami sedang bahas duduk bersama. Yang jelas, warga menolak ada perluasan, apalagi wilayahnya di desa kami, walaupun BKPH tak mengenal teritori, tapi kawasan,” harapnya.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Berita Terkait

Back to top button