OpiniWARGA

Kita Baru Bebas, Belum Benar-benar Merdeka

Oleh: Dr. Alfisahrin, M.Si. – Staf Ahli DPD RI, Dosen UNBIM dan Fisip Upatma-Mataram

Kemerdekaan Indonesia, Belajar dari Hannah Arendt tentang Kebebasan yang Belum Usai

Hannah Arrendt (1958) seorang filsuf kawakan pernah menulis, kebebasan hanya mungkin jika manusia berani bertindak. Artinya kebebasan bukan sekedar retorika, pidato dan omon-omon pejabat melainkan sebuah tindakan aksi nyata. Kemerdekaan sejati bukan pula sekedar keadaan tanpa belenggu kolonialisme melainkan bagaimana melahirkan tindakan politik kolektif yang menciptakan ruang publik yang bebas. Merdekanya Indonesia dari Spanyol, Portugis dan Belanda yang menjajah bukanlah akhir, melainkan titik awal perjuangan untuk mengihidupi rakyat dengan kesejahteraan, keadilan, kemajuan dan kebebasan sejati. Saya ingatkan bahwa kemerdekaan  yang kita peroleh bukanlah hadiah yang jatuh tiba-tiba dari langit bagi bangsa Indonesia. Namun, jalan menuju 17 Agustus 1945 penuh liku, darah, keringat dan air mata para pejuang.

Setiap intelektual di zaman perjuangan kemerdekaan menyumbangkan ide, gagasan, pikiran berkualitas. Pendiri bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta , Syahrir, H.Agusalim dan Muh. Natsir adalah para pemikir ulung, perpustakaan berjalan, dan pejuang tangguh yang memegang bara api pembebasan Indonesia. Pelampung bangsa ini adalah pikiran yang bermutu, sehingga akhirnya proklamasi dikumadangkan, kemerdekaan bukan datang dari ruang kosong namun, lahir dari penderitaan bangsa yang menahun serta perang dan pertempuran yang memakan 100 ribu korban jiwa (imperium global forum, 2017).

Perlawanan gigih dari bangsa Indonesia mengusir penjajah merupakan suatu kesadaran kolektif yang mula-mula dikobarkan oleh para pendekar intelektual bangsa. Sehingga hasil kemerdekaan dan kebebasan kini bukan sekedar hanya dirayakan sebagai euforia, pidato klise pejabat negara, dan upacara naik turunkan bendera. Ritus-ritus perayaan agustusan, memang penting namun, hanya simbolik dan seremoni karena yang substansi adalah mengatasi masalah kritis pelik bangsa.  Data BPS per Februari 2025 4,76% atau sekitar 7,28 juta orang menganggur, 8,7% atau 23,85 juta jumlah penduduk miskin, dan hampir 70 % tambang nikel, emas, aset di pasar modal dikuasai asing.

Melihat data ini tentu ritus-ritus meriah perayaan kemerdekaan menjadi terasa hambar karena ternyata mandiri dan merdeka secara ekonomi masih gagal padahal telah menjadi cita perjuangan kemerdekaan Bung Karno. Kemerdekaan telah dirayakan selama 80 tahun lamanya. Namun, beras, kedelai, jagung, daging, garam bahkan tenaga kerja masih asing masih diimpor.

IKLAN

Mengutuip Hannah Arrendt (1958), menegaskan bahwa kemerdekaan (freedom)  bukan sekedar kondisi tanpa penindasan dari Belanda dan Jepang sebagai penjajah melainkan sebuah pengalaman politik yang aktif. Dalam konteks kemerdekaan Indonesia, pemimpin negara dituntut selalu untuk inovatif dan selalu aktif mencari cara untuk mengentaskan kemiskinan, aktif memperbaiki sistem pendidikan, sistem ekonomi, sistem hukum, dan sistem politik.

Arrendt (1958) menolak reduksi kebebasan hanya sebagai kemerdekaan dari penindasan, tirani, dan penjajahan. Baginya kemerdekaan atau kebebsan sejati adalah untuk bertindak dan berbicara di ruang publik dengan lantang bersama publik tentang ketidakadilan ekonomi, hukum, korupsi, dan kemiskinan yang dihasilkan oleh tata kelola negara yang buruk. Melihat kondisi bangsa yang terpuruk dan semkain gelap karena KKN yang semakin menggurita. Ini memunculkan sejumlah pertanyaan,. Apakah kita, sungguh-sungguh telah merdeka, atau baru sekadar bebas dari penjajahan atau kita, kini tengah dijajah baru oleh anak-anak bangsa sendiri.

Dari Pembebasan ke Kebebasan

Kemerdekaan bukan hanya tentang masa lalu yakni bebas dari penjajah tetapi tentang masa depan yakni kemampuan setiap warga negara untuk menciptakan hal baru bagi kehidupan bersama. Tagliene Indonesia gelap dan kabur saja dulu yang viral dan menjadi trending topik merupakan potret dan cara pandang publik tentang situasi objektif negara. Kesejahteraan menjadi ilusi, keadilan hanya fantasi, PHK menjadi berita hari-hari, pengangguran ada di mana-mana, lapangan pekerjaan sulit dan pejabat-pejabat negara makin kaya raya.  Menurut Kompas.Com, 2025 bahwa 68% tanah dan kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh hanya satu persen kelompok dan 80 % kekayaan Indonesia dikuasai sebagian kecil elite. Ketimpangan akses sumber daya ekonomi antara elite dan rakyat di tengah gemerlapnya perayaan kemerdekaan menjadi sebuah realitas ironis dan paradoksal. Kita seperti sedang menyaksikan dan membuktikan kebenaran dari ucapan dan ketakutan lama dari Bung Karno bahwa tugasnya mengusir penjajah telah usai. Namun, tugas yang paling sulit adalah melawan bangsanya sendiri.

Delapan puluh tahun bangsa Indonesia secara De Facto dan De Jure telah merdeka namun, persoalan klasik tidak pernah usai masih menggelayut menggerangi sendi-sendi penting kehidupan bangsa dan membuat kita belum merasakan merdeka sepenuhya. Ketimpangan ekonomi antara kaya miskin cukup tinggi, kesejangan akses hukum bagi rakyat kecil terjadi luas, politik tranksaksional, Pendidikan mahal, pengangguran tinggi, kolusi dan nepotisme yang merajalela. Semua deretan kerumitan masalah bangsa ini,  bukan diciptakan dan disebabkan oleh ulah penjajah melainkan justru oleh anak-anak bangsa sendiri yang bertindak sebagai penjajah. Sebagai sebuah bangsa melihat situasi kontras ini, sejatinya kita baru memasuki fase bebas tetapi belum sejatinya merasakan arti merdeka.  Dalam konteks inilah Arendt (1963) membedakan ide tentang kemerdekaan dalam dua hal. Ada yang disebutnya pembebasan (liberation) dan kebebasan (freedom).

Dalam konteks negara Indonesia makna pembebasan adalah kita berhasil terlepas dari cengkeraman kekuasaan asing. Merdeka merupakan sebuah kemewahan, prestasi dan legitimasi perjuangan gigih dan berdarah-darah  rakyat untuk menjadi bangsa berdaulat (sovereign) dan berhasil kita capai di tahun 1945.

IKLAN

Namun kebebasan adalah hal yang lebih dalam yakni suatu kemampuan warga negara untuk hidup dalam tatanan politik yang memberi mereka suara, ruang, dan kesempatan setara untuk bertindak bersama. Penciptaan ruang publik yang aktif, setara dan bebas adalah esensi kemerdekaan namun, ruang publik di era gemerlapnya kemerdekaan kini, sering hanya didominasi oleh suara-suara arogansi tunggal kekuasaan yang seharusnya patut didengar oleh negara adalah tentang suara lirih duka kehidupan publik yang marginal. Harga-harga komoditas hasil tani yang murah, protes soal impor, kenaikan pajak, upah buruh rendah seringkali dibungkam dengan represi kuasa.

Ruang publik yang tidak bebas akan menjadi sumber malapeteka bagi demokrasi karena publik akan kehilangan partisipasi, kontrol dan kebebasan berekspresi bahkan sekedar memberi kritik terhadap ketimpangan kekuasaan. Meminjam istilah Horkheimer (1985) bahwa ruang publik memang ruang yang  merdeka dan tidak hanya dipahami semata sebagai tempat fisik, tetapi juga sebagai arena di mana sejumlah  elemen kekuatan sosial ,ekonomi, dan politik rakyat saling berinteraksi dan mempengaruhi. Pasca 80 tahun merdeka pun ruang publik negara masih dibelenggu dan dikuasi oleh kelompok elite, korporasi, dan oligarki untuk memberangus kebebasan bicara dan bersuara publik.

Dengan kekuasaan mereka mendominasi wacana publik dengan kekuatan media massa sekedar untuk mengecoh dan membentuk opini publik sesuai kepentingan mereka. Itulah sebabnya dalam perspektif Arrendt, proklamasi 1945 hanyalah bab pembuka. Pertanyaan besar selanjutnya, apakah setelah itu kita membangun ruang politik yang memungkinkan rakyat benar-benar berpartisipasi, atau justru membiarkan kemerdekaan dibajak oleh elite dan birokrasi yang  kapitalistik. Media massa pun yang menjadi pilar demokrasi seharusnya membuka ruang debat publik justru menjadi alat reproduksi ideologi dominan negara akibatnya publik kehilangan otonomi berpikir.

Politik sebagai Ruang Publik

Theodor Adorno (1903) mengatakan bahwa kebebasan dan kemerdekaan adalah kemampuan untuk menolak dominasi struktur sosial, kekuasaan dan ekonomi yang menindas. Harusnya momentum perayaan Indonesia merdeka tidak dimaknai seolah peristiwa biasa. Tetapi napak tilas reflektif, historis, dan filosofis tentang nasionalisme bangsa yang membuncah.  Merdeka bukan sekedar memutar balikan ingatan kolektif tentang kilas perjalanan waktu dengan suka cita bergembira tanpa makna. Ada persoalan serius yang tengah membelit bangsa di tengah semarak kemerdekaan yang menjadi  paradoks yakni turunnya indeks demokrasi Indonesia yang disebabkan  oleh matinya kebebasan sipil, maraknya politik dinasti dan korupsi. Bagi saya politik bukan soal kekuasaan dan posisi semata melainkan apa  isi-nya sebagai (esensi).

Politik adalah action in the public realm tindakan bersama di ruang publik di mana warga setara dan bebas berbicara. Demikian penengasan Arrendt (1958).  Saat perayaan megah kemerdekaan Indonesia ada realitas pahit yang harus diterima bahwa hingga hari ini, koruptor masih menguasai negara, Masyarakat kian terpinggirkan dihimpit proyek-proyek oligarki, dan kebijakan negara semakin tak berpihak pada rakyat. Penegakan hukum dipertaruhkan demi amankan kepentingan politik elite yang akhirnya mencampakan keadilan publik. Mirisnya, ruang bersuara publik sering kali menyempit. Sejak era demokrasi terpimpin hingga Orde Baru, politik rakyat digantikan oleh politik mobilisasi. Bahkan di era reformasi, kebebasan sering dipersempit oleh polarisasi, politik uang, dan dominasi elite.

Kita merdeka secara hukum, tapi ruang publik kita masih rapuh. Itulah, mengapa Arrendt menegaskan bahwa kebebasan hanya nyata ketika manusia hadir dalam kehidupan publik bukan sekedar dalam ruang privat. Seseorang tidak benar-benar bebas hanya karena ia lepas dari rantai penjajahan atau represi. Lagi-lagi saya katakan bahwa kebebasan menjadi nyata ketika kita warga negara berpartisipasi dalam membangun, mengatur dan memberi arah pada kehidupan kolektif negara.

Dalam the Human Condition (1958) Arrendt membedakan tiga hal yang harus dilakukan oleh manusia untuk memperoleh kebebasan sejatinya yakni menjadi labor (pekerjaan biologis untuk bertahan hidup), work (karya yang menghasilkan dunia buatan manusia) dan action (tindakan politik di ruang publik). Melalui Action-lah kebebasan memperoleh bentuknya yang sejati tanpa tindakan politik hanyalah omon-omon.

Kebebasan dan kemerdekaan tidak mungkin hanya berdiri sendiri sebagai hak individual karena  esensi dari kemerdekaan dan kebebasan harus selalu hadir dalam kebersamaan di ruang publik. Tempat orang-orang berdiskusi, memperjuangkan gagasan dan bertindak. Ruang publik adalah medan utama sebuah kebebasan manusia tanpa arena publik kemerdekaan hanyalah ilusi privat. Kebebasan bagi Arrendt mengandaikan adanya politik, karena hanya dalam politik individu dapat tampil, diakui dan memiliki otoritas membentuk masa depan kolektif.

Sehingga dalam On Revolution (1963) Arrendt mengkritik revolusi dan demokrasi modern yang gagal menghidupkan makna kebebasan, Kita telah berhasil memerdekakan bangsa Indonesia dari penindasan, eksploitasi, kerja paksa dan tirani tetapi seringkali hanya berhenti pada persoalan keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Padahal, kemerdekaan politik lebih penting dari pada sekedar kemakmuran. Apa gunanya kemerdekaan jika rakyat tidak diikutkan dalam pengambilan Keputusan publik, tidak heran karena minimnya partisipasi publik kebijakan negara menjadi serba tiba-tiba. Ada tiba-tiba  gaji anggota DPR naik 100 juta/bulan, tiba-tiba tarif pajak melonjak 250%, dan tiba-tiba ada pengampunan bagi koruptor.

Kemerdekaan sebagai Proyek yang tak Pernah Selesai

Pelajaran dari Arendt (1958) jelas, kemerdekaan bukanlah titik akhir melainkan proyek politik yang harus terus diperjuangkan. Ia hanya hidup jika rakyat menjaga ruang publik, menuntut kesetaraan, dan berani bersuara melawan ketidakadilan. Merdeka dari penjajah adalah kemenangan masa lalu.

Merdeka sebagai warga yang setara dan bebas itulah inti perjuangan hari ini dan esok. Seperti kata Arendt, kebebasan adalah ketika kita tidak hanya bebas dari sesuatu, tetapi juga bebas untuk bersama-sama membentuk masa depan.  Setiap Agustus, Indonesia ramai dengan lomba balap karung, panjat pinang, dan parade merah putih. Seolah-olah semua itu menjadi bukti bahwa kita merdeka. Tapi kalau Hannah Arendt (1958), seorang filsuf politik yang tajam berpikir, bisa bicara dari alam kuburnya, mungkin ia akan tersenyum kecut dan bertanya, bangsa Indonesia  merdeka dari siapa, Dan untuk apa.

Bagi Arendt, ada jarak lebar antara pembebasan dan kebebasan. Pembebasan adalah mengusir penjajah, itu berhasil kita lakukan di 1945. Tapi kebebasan, Itu soal apakah rakyat punya ruang untuk bicara, bersuara, dan menentukan nasib politiknya sendiri. Di titik ini, kemerdekaan kita sering kedodoran. Arendt percaya politik adalah tindakan bersama di ruang publik.

Tapi di negeri ini, ruang publik kadang terasa seperti ruang tamu yang sempit cukup untuk segelintir elite, tapi pengap untuk rakyat banyak. Kita punya demokrasi, tapi penuh drama. Kita punya pemilu, tapi mahal dan menguras kewarasan. Kita bebas berbicara, tapi risiko persekusi dan UU ITE selalu mengintai. Arendt juga berbicara tentang the right to have rights yakni hak untuk memiliki hak. Di Indonesia, hak-hak itu kadang seperti hadiah undian, ada yang dapat, ada yang apes. Petani bisa kehilangan tanahnya demi proyek strategis nasional. Aktivis bisa ditangkap karena mengkritik pejabat. Kelompok minorita, Sering kali harus puas menjadi tamu di tanah air sendiri.

Setelah kemerdekaan, banyak negara jatuh ke jebakan stabilitas di atas kebebasan. Kita pun tak kebal. Pemerintah sering lebih sibuk merawat citra dan mengamankan kursi ketimbang membuka pintu partisipasi rakyat. Demokrasi yang lahir dari Reformasi 1998 pun perlahan jadi demokrasi transaksional. Pelajaran penting dari filsuf  

Arendt, cukup  sederhana tapi pedih, kemerdekaan bukan monumen, ia harus dirawat setiap hari. Merdeka bukan cuma urusan mengibarkan bendera, tapi memastikan semua warga, dari Sabang sampai Merauke, punya hak yang sama untuk menentukan arah negeri ini. Pertanyaannya apakah kita mau terus merayakan kemerdekaan sebagai ritus simbolik dan sekedar nostalgia masa lalu, atau kita berani menjadikannya pekerjaan masa kini. Kalau jawabannya yang pertama, selamat datang di Indonesia negara yang merdeka di atas kertas, tapi masih sibuk dan terus merangkak belajar jadi bebas. (*)

Berita Terkait

Back to top button