ADVERTORIALPendidikan

Mahasiswa KKN PMD Unram Laksanakan Program Pelita di SDN 1 Gili Indah

Mataram (NTBSatu) – Gili Indah merupakan salah satu destinasi wisata bahari unggulan di Kabupaten Lombok Utara. Di balik keindahannya, terdapat sebuah SDN yang menjadi tempat bernaung anak-anak. Mereka dari berbagai latar belakang keluarga nelayan dan pelaku industri pariwisata lokal, SDN 1 Gili Indah.

Sekolah ini terletak di wilayah Dusun Gili Air, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, dan telah berdiri sejak tahun 1969. Dengan status negeri dan akreditasi B, SDN 1 Gili Indah memiliki peran sentral dalam memberikan pendidikan dasar bagi masyarakat pulau kecil ini.

Namun seperti banyak sekolah di daerah kepulauan, tantangan yang dihadapi tidak sekadar soal fasilitas. Melainkan juga menyangkut akses, keterlibatan keluarga, dan kontinuitas belajar anak.

Berangkat dari pengamatan lapangan, tim Kuliah Kerja Nyata (KKN) PMD Universitas Mataram (Unram) di Desa Gili Indah menemukan kenyataan yang memprihatinkan namun membuka ruang refleksi bersama.

Sejumlah anak yang telah duduk di bangku kelas menengah sekolah dasar, ternyata belum mampu membaca dengan lancar. Bahkan, ada yang belum mengenali huruf sama sekali.

Hal ini bukanlah cerminan ketidakmampuan individu, tetapi lebih merupakan potret dari kompleksitas kondisi sosial yang membentuk keseharian mereka.

Mayoritas orang tua anak-anak tersebut bekerja di sektor informal, terutama sebagai pedagang, pelayan penginapan, tukang perahu, dan pelaku jasa wisata lainnya. Waktu mereka habis untuk bekerja sejak pagi hingga malam demi memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mendampingi anak belajar bukanlah perkara mudah.

Kondisi ini semakin parah oleh dampak panjang pandemi Covid-19. Saat sekolah-sekolah harus tutup dan kegiatan belajar dialihkan ke rumah, anak-anak di Gili Air seperti juga di banyak wilayah lain tidak dapat mengakses pembelajaran daring secara optimal.

Ketiadaan perangkat elektronik, keterbatasan sinyal internet, serta rendahnya literasi digital keluarga menjadi hambatan besar. Di sisi lain, karena orang tua sibuk bekerja dan tidak semua memiliki latar belakang pendidikan yang memadai, anak-anak tidak mendapatkan pendampingan belajar yang ideal di rumah.

Situasi ini berlangsung dalam waktu yang tidak singkat, sehingga kemampuan dasar seperti membaca pun tertinggal jauh dari usia dan kelas mereka saat ini.

IKLAN

Fenomena ini tidak terjadi karena kelalaian siapa pun, melainkan karena akumulasi dari situasi struktural yang belum sepenuhnya berpihak pada anak-anak di wilayah kepulauan. Oleh karena itu, upaya pemulihan kemampuan literasi dasar menjadi sangat penting dan mendesak.

Dalam konteks inilah, tim KKN PMD Universitas Mataram di Desa Gili Indah merancang dan melaksanakan program bertajuk Pelita (Pendidikan Literasi Anak) Gili.

Sebuah inisiatif literasi yang menyasar anak-anak SD di Gili Air untuk kembali menyalakan semangat belajar membaca dari titik awal, dengan metode yang menyenangkan, terstruktur, dan penuh kehangatan.

Pelita Gili bukan sekadar kegiatan mengajar rutin, tetapi merupakan bentuk konkret intervensi pendidikan berbasis komunitas dengan pendekatan terencana, intensif, dan menyentuh kebutuhan dasar: kemampuan membaca.

Selama empat minggu penuh, sejak awal penempatan hingga menjelang penarikan, kegiatan ini dijalankan secara konsisten empat kali dalam seminggu, dari pukul 08.00 hingga 11.30 Wita.

Sasaran dari program ini adalah 28 anak dari berbagai latar belakang kelas, mulai dari kelas 2 hingga kelas 5.

Namun, sebagian besar peserta berasal dari kelas 3 dan 4. Hal yang menggelitik, sekaligus menjadi cermin kondisi literasi dasar yang belum merata, adalah bahwa banyak dari mereka tidak naik kelas dan memiliki kemampuan membaca yang sangat terbatas.

Menanggapi kondisi tersebut, tim KKN menerapkan metode pengajaran “phonic”. Sebuah pendekatan literasi awal yang mengajarkan anak untuk mengenali bunyi huruf, menggabungkannya menjadi suku kata, dan kemudian membentuk kata utuh.

Berbeda dari metode mengeja tradisional, phonik terbukti lebih efektif untuk anak-anak dengan keterlambatan kemampuan membaca karena bersifat multisensori dan progresif.

Proses pembelajaran dirancang dalam kelompok kecil, masing-masing terdiri dari 5 hingga 7 anak yang dibimbing oleh satu anggota tim kelompok KKN Desa Gili Indah sebagai tutor.

Dengan kelompok belajar kecil, pendekatan pembelajaran menjadi lebih personal, responsif, dan memungkinkan terjadinya interaksi intens antara tutor dan siswa.

Anak-anak tidak hanya diajak mengenal huruf dan suku kata, tetapi juga diajak membaca buku cerita anak bergambar yang telah diklasifikasikan berdasarkan level kesulitan, dari level dasar hingga lanjutan.

Salah satu keberhasilan paling membanggakan dari pelaksanaan program ini adalah transformasi yang terlihat jelas pada anak-anak peserta.

Di awal kegiatan, sebagian besar anak bahkan belum mampu mengeja secara utuh, apalagi membaca dengan lancar. Namun memasuki minggu ketiga dan keempat, perubahan signifikan mulai terlihat. Anak-anak mulai mampu menyusun bunyi kata menjadi kalimat sederhana, dan beberapa bahkan sudah lancar membaca kalimat utuh dari buku cerita tingkat awal.

Tidak hanya itu, sebagian dari mereka kini sudah dapat menulis dengan cukup baik dan telah kembali masuk ke kelasnya masing-masing di sekolah formal, karena dinilai telah memenuhi kemampuan dasar membaca dan menulis.

Hal ini menjadi bukti nyata bahwa pendekatan pembelajaran yang konsisten dan tepat sasaran mampu mendorong kemajuan literasi dasar anak-anak secara signifikan dalam waktu relatif singkat.

Keberhasilan program Pelita Gili tidak dapat dilepaskan dari dukungan penuh yang diberikan oleh pihak sekolah, khususnya SDN 1 Gili Indah.

Menyadari bahwa sejumlah siswanya menghadapi tantangan dalam kemampuan membaca dan ada beberapa yang bahkan tidak naik kelas, pihak sekolah menunjukkan kepedulian tinggi dengan membuka ruang kolaborasi dan fasilitasi kegiatan pembelajaran tambahan.

Kepala sekolah beserta guru-guru memberikan dukungan konkret, mulai dari proses identifikasi awal hingga pelaksanaan program.

Bersama tim KKN PMD Kelompok Gili Indah Universitas Mataram, sekolah melakukan skrining awal terhadap 28 anak yang membutuhkan pendampingan khusus dalam kemampuan literasi dasar.

Dari proses skrining tersebut, anak-anak yang berasal dari kelas 2 hingga kelas 6, terutama mereka yang berasal dari kelas 3 dan 4, kemudian dikelompokkan untuk mengikuti pembelajaran secara intensif.

Pihak sekolah menyediakan waktu, ruang, dan fleksibilitas dalam jadwal agar kegiatan belajar tambahan ini dapat berlangsung tanpa mengganggu aktivitas pembelajaran utama.

Kolaborasi ini menjadi wujud nyata sinergi antara institusi pendidikan formal dan program pengabdian mahasiswa dalam menjawab tantangan pendidikan di daerah pesisir dan kepulauan.

Keberhasilan program tentu tidak datang secara instan. Prosesnya berjalan bertahap dan memerlukan kesabaran, konsistensi, serta pendekatan yang menyenangkan.

Jadwal belajar dilaksanakan empat kali dalam seminggu, dari pagi hingga menjelang siang, dengan sistem pengajaran kelompok kecil. Selain itu, buku cerita bergambar yang digunakan bukan sekadar alat bantu belajar, tetapi juga jendela imajinasi.

Anak-anak tidak hanya belajar membaca, tetapi juga diajak memahami isi cerita, berdiskusi singkat, dan menyampaikan pendapat mereka secara lisan. Aktivitas ini secara tidak langsung juga mengasah kemampuan berpikir kritis dan komunikasi anak, sesuatu yang sangat penting dalam proses pendidikan holistik.

Dalam pelaksanaan program Pelita Gili, tantangan yang dihadapi tidak hanya berasal dari keterbatasan fasilitas, tetapi juga dari dinamika proses belajar itu sendiri. Karena seluruh ruang kelas digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar reguler, tim KKN menggunakan musala sebagai ruang alternatif untuk mengajar.

Meskipun sederhana, tempat tersebut menjadi pusat kegiatan literasi yang hangat dan fungsional. Di sisi lain, tantangan utama datang dari karakter anak-anak yang cenderung aktif dan dinamis, sebagaimana umumnya anak-anak di lingkungan pesisir yang terbiasa bermain di alam terbuka.

Situasi ini menuntut kesabaran, konsistensi, dan kreativitas dari para tutor dalam menjaga fokus belajar anak-anak, sambil tetap menciptakan suasana yang menyenangkan dan tidak mengekang. Komitmen untuk hadir dan membimbing mereka setiap sesi menjadi kunci dalam menghadapi tantangan tersebut.
Pelita Gili adalah wujud nyata dari upaya kecil dengan dampak signifikan.

Di tengah keterbatasan infrastruktur dan akses pendidikan, intervensi berbasis komunitas seperti ini mampu menghadirkan perubahan nyata. Literasi bukan sekadar kemampuan teknis membaca dan menulis, tetapi juga pintu gerbang menuju pemahaman diri, lingkungan, dan dunia.

Program ini juga menjadi refleksi bahwa upaya peningkatan literasi dasar anak di daerah pesisir dan kepulauan perlu pendekatan yang tidak hanya akademis, tetapi juga humanis dan adaptif terhadap konteks lokal. Pemerataan pendidikan tidak bisa hanya disandarkan pada kebijakan dari pusat, tetapi juga membutuhkan gerakan dari akar rumput, yang dilakukan dengan hati dan empati.

Harapannya, setelah program ini berakhir, semangat membaca anak-anak Gili tetap terjaga dan tidak pernah pudar. Lebih jauh, kami berharap masyarakat, sekolah, dan pihak terkait dapat melanjutkan tongkat estafet ini dengan mengembangkan ruang-ruang literasi yang berkelanjutan dan menyenangkan. Sebab, ketika satu anak mampu membaca dan memahami dunia, maka satu harapan telah tumbuh di tengah keterbatasan.

Melalui “Pelita Gili”, Tim KKN PMD Universitas Mataram di Desa Gili Indah membuktikan bahwa keberhasilan pengabdian bukan sekadar soal banyaknya kegiatan yang tercatat, tetapi terletak pada seberapa besar perubahan yang mampu dihadirkan bagi masyarakat.

Dalam hal ini, hadirnya kembali semangat membaca pada anak-anak pulau menjadi bukti bahwa intervensi sederhana pun bisa bermakna besar jika dilakukan dengan kepedulian, kesabaran, dan kolaborasi.

Program ini juga tak lepas dari arahan dan bimbingan I Wayan Suteja, ST., MT., selaku Dosen Pembimbing Kegiatan (DPK), yang turut mendorong tim untuk terus hadir secara konsisten dan adaptif di tengah tantangan lokal.

Di pulau kecil yang dikelilingi laut biru ini, secercah cahaya literasi telah dinyalakan dan harapannya, sinar itu akan terus tumbuh, dijaga, dan diwariskan, hingga tak lagi ada anak yang tertinggal untuk sekadar bisa membaca. (*)

Berita Terkait

Back to top button