Mataram (NTBSatu) – Pemerintah Provinsi NTB, menetapkan target ambisius dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029.
Dua hal yang menjadi fokus utama, yakni menurunkan tingkat kemiskinan umum di bawah 10 persen. Serta, menghapuskan kemiskinan ekstrem sepenuhnya pada tahun 2029.
“Kami tidak ingin ada lagi rakyat NTB yang hidup dalam ketidakpastian dan ketidakberdayaan. Negara harus hadir. Kami di daerah siap mengambil bagian terbesar dalam misi besar ini,” tegas Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal dalam Forum Musrenbang, Rabu, 4 Juni 2025.
Secara statistik, NTB memang menunjukkan tren penurunan kemiskinan dalam empat tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat kemiskinan umum turun dari 13,97 persen menjadi 11,91 persen per Maret 2024.
Jumlah penduduk miskin juga menurun dari 713,8 ribu jiwa menjadi 709 ribu jiwa. Sementara itu, kemiskinan ekstrem mengalami penurunan tajam dari 3,29 persen menjadi hanya 0,83 persen pada 2024.
Namun, pencapaian tersebut belum cukup untuk menyembunyikan kenyataan bahwa NTB masih menghadapi tantangan struktural yang serius.
Jadi Provinsi Berpendapatan Rendah
Salah satu tantangan terbesar adalah posisi NTB sebagai salah satu provinsi dengan pendapatan terendah di Indonesia. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita 2024 hanya Rp32,28 juta, menempatkan NTB di posisi keempat terendah secara nasional.
Status ini pun mencerminkan realitas, bahwa NTB masih berada dalam kategori Lower-Middle Income Region atau berpendapatan menengah ke bawah. Dengan daya beli masyarakat yang terbatas dan ketergantungan ekonomi yang belum terdiversifikasi.
Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat turut menjadi tantangan. Selama 2011 hingga 2024, Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) NTB tercatat rata-rata hanya 3,41 persen per tahun.
Angka tersebut berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 4,68 persen. Kemudian, lebih rendah daripada provinsi tetangga seperti Bali yang mencatat 4,36 persen.
Pertumbuhan yang lambat ini tentu berdampak pada terbatasnya perluasan kesempatan kerja dan pendapatan yang berkelanjutan bagi masyarakat.
Gubernur Iqbal turut menyadari kondisi tersebut. “Kami menyadari pertumbuhan ekonomi kita belum ideal. Tapi ini bukan alasan untuk berhenti berjuang. Kami akan membangun ekonomi dari desa, dari sektor produktif rakyat kecil, bukan hanya angka-angka statistik,” ujarnya.
Untuk itu, Pemprov NTB menyusun strategi percepatan yang mencakup penguatan sektor unggulan seperti pertanian, peternakan, dan pariwisata berkelanjutan. Kemudian, perluasan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis komunitas. Serta, integrasi lintas sektor antara pemerintah pusat dan daerah.
Dengan waktu kurang dari lima tahun menuju 2029, NTB dihadapkan pada pertarungan antara optimisme perencanaan dan realitas sosial-ekonomi yang kompleks.
“Pemerintah Provinsi tidak hanya dituntut berpikir besar, tetapi juga bekerja secara konkret, adaptif, dan langsung berpihak pada masyarakat,” pungkas Iqbal. (*)