Mataram (NTBSatu) – Kejati NTB mengatensi, penanganan kasus anggaran Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Dompu tahun 2022-2023. Sebut masih berkoordinasi dengan Inspektorat setempat.
“Masih berproses di (Kejari) Dompu. Kemarin ada surat Kejagung, laporan dari Dompu masih dalam proses pemeriksaan,” kata Kepala Kejati NTB, Enen Saribanon, Rabu, 7 Mei 2025.
Penanganan perkara masih berjalan di tahap penyelidikan. Enen, mengaku belum bisa menyampaikan proses lebih jauh. Menyusul saat ini Kejari Dompu masih melakukan pendalaman.
Kendati demikian, penanganan kasus disinyalir melibat Istri Mantan Bupati Dompu, mendapat atensi Kejati NTB. Akhir tahun 2024, Enen mengaku pihaknya telah melakukan monev ke Kejari Dompu.
Hasilnya, kejaksaan masih berkoordinasi dengan Inspektorat Dompu. “(Kejari setempat) masih berkoordinasi dengan Inspektorat,” tegasnya memastikan.
Koordinasi tersebut, sambung Enen, belum ke arah ada atau tidaknya potensi kerugian negara. Namun untuk melihat peluang pemulihan melalui Inspektorat.
“Jadi masih penyelidikan,” ucap orang nomor satu di lembaga Adhyaksa NTB ini.
Dalam kasus ini, Kejari Dompu memeriksa sejumlah aparatur sipil negara (ASN). Kasi Intelijen Joni Eko Waluyo sebelumnya mengatakan, pihaknya telah memanggil dan memintai keterangan saksi sebanyak 20 orang. Mereka terdiri dari sejumlah ASN dan anggota PKK.
Istri Mantan Bupati Dompu sekaligus Ketua PKK periode 2022-2023, Lilis Suryani masuk dalam agenda pemeriksaan.
“Istri belum dipanggil. Masuk (agenda pemeriksaan),” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Penanganan kasus setelah pihaknya menerima pelimpahan perkara dari Kejati NTB. Mereka fokus di tahap pengumpulan data (puldata) dan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket).
Sebagai informasi, sekelompok warga melaporkan dugaan penyimpangan PKK Dompu ke Kejati NTB.
Dalam laporan itu, pelapor menduga adanya indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan anggaran tahun 2022 dan 2023. Nilainya mencapai Rp2 miliar.
Dugaanya, anggaran dari dana hibah Pemerintah Kabupaten Dompu ini tidak jelas pertanggungjawabannya. Bahkan, pelapor menuding surat pertanggung jawaban diduga fiktif. (*)