HEADLINE NEWSPendidikan

Refleksi Hardiknas: Proyek Pendidikan NTB Disulap Jadi Ladang Korupsi

Mataram (NTBSatu) – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kembali datang. Seperti biasa, dirayakan dengan meriah di permukaan, namun kosong di akar.

Pemerintah berbicara soal “generasi emas”. Sementara kondisi sejumlah sekolah dan fasilitasnya masih memprihatinkan. Guru honorer tetap dihargai dengan tepuk tangan, bukan penghasilan layak.

Di kota, pendidikan menjadi ladang bisnis. Di desa, jadi perjuangan. Kondisi seperti itu juga terjadi di NTB.

Pendidikan di provinsi dengan 10 kabupaten/kota ini masih jalan di tempat. Salah satu faktornya, kurang transparansi dan amburadulnya pengelolaan anggaran. Termasuk dana alokasi khusus (DAK) SMA dan SMK.

Catatan NTBSatu, anggaran DAK di Nusa Tenggara Barat (NTB) belum terkelola dengan baik. Bahkan untuk DAK tahun 2023 dan 2024 pun berurusan dengan aparat penegak hukum (APH).

IKLAN

Para pengelola anggaran dari kalangan pejabat Pemprov NTB disinyalir memanfaatkan anggaran puluhan miliar tersebut untuk kepentingan pribadi. Oknum pegawai negeri sipil (PNS) memungut 10-15 persen fee proyek dari para kontraktor.

Uang tersebut kemudian mereka tampung di sebuah perusahaan. Rencananya untuk memenuhi kebutuhan salah satu pejabat Pemprov NTB untuk maju dalam Pilkada 2024 lalu. Seperti “membeli” partai politik dan kebutuhan logistik tim.

Hal itu pun menganggu proses pekerjaan fisik di sejumlah sekolah. Contohnya, Kontraktor SMA 1 Donggo pernah diusir paksa kontraktor yang mengklaim menerima Surat Perintah Kerja (SPK) lebih dahulu.

Kasus lain, dua proyek di Sumbawa dan Bima tiba-tiba terbit dua SPK dalam waktu berdekatan.

Belum lagi masalah lain. Seperti proyek dugaan fiktif smart class senilai Rp49 miliar di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB.

Kini sekolah-sekolah di daerah bergulat dengan infrastruktur rusak dan akses belajar yang timpang. Guru honorer mengabdi bertahun-tahun dengan upah tak layak. Sementara distribusi anggaran sering kali tidak menyentuh kebutuhan paling dasar.

Ironisnya, ketika kualitas belajar siswa menurun atau capaian literasi stagnan. Yang menjadi sorotan justru peserta didik dan tenaga pengajar. Padahal akar masalah sering kali terletak pada lemahnya manajemen. Tidak transparannya alokasi anggaran dan minimnya evaluasi.

PKC PMII Bali Nusa Angkat Bicara

Fenomena ini mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Bali-Nusra.

Ketua PKC PMII Ahmad Muzakkir menilai, dunia pendidikan di NTB masih dalam kondisi kacau dan amburadul. Jauh dari prinsip pendidikan yang merata, transparan, dan berkualitas.

Hardiknas seharusnya menjadi momentum evaluasi serius terhadap kinerja pemerintah NTB, bukan sekadar ajang seremonial.

“Realitanya, banyak persoalan krusial yang tidak kunjung selesai. Mulai dari distribusi guru, sarana belajar yang minim, hingga pengelolaan anggaran yang tidak transparan,” tegasnya.

Begitu juga soal pengelolaan DAK. Menurutnya, pengelolaan DAK selama beberapa tahun terakhir tidak menjawab kebutuhan nyata di lapangan. Justru berpotensi menjadi ladang korupsi.

“Kami menemukan indikasi kuat bahwa proyek-proyek dari biaya DAK, seperti program smart class, justru manipulatif dan tidak berdampak nyata terhadap peningkatan kualitas pembelajaran,” lanjutnya.

Proyek smart class seharusnya menjadi lompatan digital pendidikan. Namun faktanya, justru pengerjaannya secara asal-asalan. Fasilitasnya tidak sesuai spesifikasi, distribusi perangkat tidak merata. Bahkan beberapa sekolah hanya menerima perangkat tanpa pelatihan atau dukungan teknis. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button