Mataram (NTBSatu) – Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik (FHISIP), Universitas Mataram (Unram) kembali menggelar diskusi Sorot Kamera Seri ke-3, pada Rabu, 30 April 2025.
Sorot Kamera Seri ke-3 ini mengangkat tema “Menata Pembangunan Daerah di Tengah Bayang-bayang Kejahatan Kemiskinan.”
Hadir pada kegiatan tersebut Khairus Febryan Fitrahady, S.H., M.H., dan Dr. Dwi Setiawan Chaniago, S.Sos., M.A. sebagai narasumber. Sementara, Dekan FHISIP Unram, Taufan, S.H., M.H., sebagai moderator. Serta, Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, S.H., M.H. juga hadir sebagai keynote speaker.
Pada kesempatan tersebut, Taufan memaparkan, latar belakang pemilihan tema ini dengan merujuk pada pendapat Ronald Reagen yang menyatakan, pemerintah itu bukan solusi dari masalah, tetapi pemerintah itu adalah masalah itu sendiri.
Hal ini menjadi terbukti dengan jenis kejahatan yang marak terjadi di NTB adalah crime of need atau kejahatan karena kebutuhan. Di mana kejahatan ini lebih banyak terjadi daripada crime of greed atau kejahatan karena keserakahan.
“Penyebab crime of need terjadi adalah karena pemerintah gagal mensejahterakan rakyatnya,” tegas Taufan.
Data Polda NTB menunjukkan, kejahatan yang banyak terjadi adalah crime of need berupa pencurian, kekerasan, penganiayaan, perdagangan narkotika dan sebagainya.
“Hal ini dalam perspektif kriminologi, pembangunan memiliki hubungan yang kuat dengan kejahatan,” ujarnya.
Tata Kelola Buruk, Kemiskinan Meningkat
Kemudian, Lalu Wira Pria Suhartana dalam sambutannya menjelaskan, dalam menghadapi isu kontemporer, lembaga pendidikan harus turut hadir untuk memberikan penjelasan dan solusi secara independen dan bebas.
Ia mengatakan, jika isu hukum kini merambat ke ranah sosiologi sebagaimana pembentukan dan pelaksanaan hukum yang tidak bisa lepas dari disiplin ilmu lainnya. Isu pembangunan daerah juga menurutnya penting untuk dikupas dalam pendiskusian tersebut.
“Saya ingin mengajak rekan-rekan semua yang hadir untuk berpikir secara kritis bagaimana arah dan tantangan pembangunan daerah kali ini. Lalu bagaimana pentingnya kolaborasi interdisipliner, khususnya dalam hal ini prodi-prodi di bawah naungan FHISIP mengupas arah pembangunan daerah yang tidak mengabaikan masyarakat kecil,” jelasnya.
Dalam pemaparannya, Khairus Febryan mengawali dengan mengajukan pertanyaan kritis: Apakah kejahatan dan kemiskinan yang menghambat pembangunan, ataukah buruknya tata kelola pemerintahan yang justru menjadi akar dari persoalan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Ia merujuk pada beberapa teori. Salah satunya, Vicious Circle of Poverty dari Ragnar Nurkse yang menggambarkan kemiskinan sebagai siklus berulang: rendahnya modal – produktivitas rendah – pendapatan rendah – konsumsi rendah – kembali ke kemiskinan. “Kira-kira seperti itu siklusnya,” ucap Febryan.
Untuk menyikapi kemiskinan yang mengarah kepada kejahatan, Khairus menekankan pentingnya pendekatan non-hukum dalam menangani kejahatan.
Ia mengutip teori kontrol sosial Travis Hirschi, teori strain Robert Merton, dan cultural transmission theory Shaw & McKay sebagai landasan bagi kebijakan berbasis sosial, ekonomi, dan budaya. Contohnya seperti program Bhabinkamtibmas, Kartu Prakerja, dan Kampung Bebas Narkoba.
“Intinya seperti lingkaran setan, tata kelola pemerintahan yang buruk berdampak pada meningkatnya kemiskinan dan kejahatan, lalu pembangunan daerah pun terhambat. Juga Hukum memengaruhi ekonomi, dan ekonomi juga memengaruhi hukum. Keduanya harus berjalan seiring untuk menciptakan kondisi ekonomi dan fiskal yang lebih baik.” jelasnya.
Indonesia Masih Mengabaikan Pembangunan Sosial
Sementara itu, Dr. Dwi Setiawan Chaniago memaparkan persoalan dari sudut pandang sosiologis. Ia menyatakan, pembangunan di Indonesia masih terjebak dalam determinisme ekonomi yang korporat-sentris, dan mengabaikan pembangunan sosial.
Akibatnya, muncul kesenjangan sosial dan kemiskinan struktural yang memicu kejahatan. Ia menyebut kejahatan sebagai “senjata orang-orang yang kalah,” sebuah bentuk respons masyarakat terhadap kegagalan pembangunan yang tidak inklusif.
Berkaca pada prinsip “Leave No One Behind” dari Sustainable Development Goals (SDGs), yang menyerukan agar tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan. Tidak ada pembangunan tanpa keberpihakan, dan tidak ada keberpihakan tanpa pembangunan.
“Tetapi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, lebih banyak memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi daripada kesejahteraan sosial. Sehingga muncul kesenjangan sosial dan kemiskinan. Akhirnya kejahatan muncul ekses negatif dari kemiskinan akibat gagalnya pembangunan sosial,” paparnya.
Dalam konteks post-desentralisasi, Dwi menyoroti semakin terkikisnya kewenangan daerah akibat sentralisasi regulasi dan kehadiran lembaga-lembaga pusat di daerah. Hal ini menurutnya menyebabkan lemahnya kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan lokal.
Ia mengingatkan, proyek strategis seperti kawasan Mandalika harus menjadi pemicu pembangunan ekonomi lokal. Bukan sekadar destinasi elitis orang-orang yang dekat dengan pemerintah pusat.
Diskusi juga melibatkan berbagai peserta, baik dari akademisi, mahasiswa, hingga praktisi. Mereka menyuarakan keprihatinan atas lemahnya institusi sosial, rendahnya daya saing pendidikan di NTB, hingga pentingnya pembangunan moral dan etika di tengah fokus ekonomi yang dominan.
Akhirnya, acara ditutup dengan refleksi bersama bahwa pembangunan tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, melainkan juga transformasi sosial, keadilan, dan pemberdayaan masyarakat di akar rumput.
Harapan dibangun bahwa pemikiran kritis dalam diskusi ini dapat menjadi pijakan perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat menengah ke bawah. (*)