Mataram (NTBSatu) – Pemprov NTB mengambil langkah serius, dalam memperkuat perlindungan bagi korban kasus dugaan pencabulan dan kekerasan seksual oleh oknum pimpinan salah satu pondok pesantren di wilayah Kekait, Lombok Barat.
Dalam kasus ini, sebanyak 22 santri menjadi korban dalam kasus yang belakangan dikenal publik sebagai “Walid Lombok”.
Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB, Ahsanul Khalik mengatakan, menindaklanjuti arahan Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, pihaknya bersama tim Pekerja Sosial dan Kepala UPTD PPA DP3AP2KB Provinsi NTB menggelar pertemuan dengan Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi.
“Pertemuan tersebut juga melibatkan unsur dari aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB,” kata AKA, sapaan Kepala Dinas Sosial, Rabu, 23 April 2025.
AKA menjelaskan, dalam pertemuan tersebut, terdapat beberapa kesepakatan langkah strategis sebagai bentuk sinergi penanganan dan perlindungan korban. Serta, memprioritaskan rasa aman untuk korban.
Kesepakatan pertama, kata AKA, adalah pentingnya korban mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Hal ini vital agar para korban merasa aman dan terlindungi selama proses hukum berlangsung. Serta, bebas dari tekanan, intimidasi, maupun ancaman dari pihak manapun,” jelasnya.
Kedua, Pendampingan Sosial dan Psikologis Terintegrasi. Di mana Dinas Sosial NTB bersama UPTD PPA DP3AP2KB NTB, menyatakan kesiapannya dalam memberikan pendampingan menyeluruh kepada para korban. Seperti dalam proses rehabilitasi sosial, konseling psikososial, dan pemulihan trauma oleh pekerja sosial.
“Selain itu, UPTD PPA juga menyiapkan tenaga psikolog profesional untuk membantu korban dalam menghadapi dampak psikologis jangka panjang,” ungkapnya.
Langkah yang ketiga adalah melakukan penelusuran terhadap santri dan memberikan jaminan hak pendidikan.
Menurut AKA, langkah penting tujuannya untuk memastikan apakah terdapat korban lainnya di luar 22 yang sudah terungkap.
Proses ini akan secara kolaboratif antara LPA Kota Mataram, Pekerja Sosial Masyarakat dari Dinas Sosial NTB. Serta, melibatkan Dinas Sosial dan DP3AP2KB dari kabupaten/kota asal para santri.
“Tracing juga bertujuan memastikan hak pendidikan para santri tetap terpenuhi,” tutur AKA
Dalam hal ini, lanjut AKA, apabila ada santri atau santriwati yang mengalami kesulitan dalam proses kepindahan sekolah atau pondok, maka Dinas Sosial Provinsi NTB membuka ruang layanan bantuan.
“Dinas Sosial akan berkoordinasi langsung dengan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTB untuk memfasilitasi kepindahan mereka ke lembaga pendidikan yang lebih aman,” beber AKA.
Usulan Pembentukan Satgas oleh Pemerintah Daerah
Langkah keempat adalah munculnya usulan pembentukan Satgas pengawasan asrama pondok pesantren.
Dalam diskusi bersama, Kepala Dinas Sosial NTB dan Ketua LPA Kota Mataram juga menyoroti kelemahan sistem pengawasan asrama pondok pesantren.
Menurut informasi dari ketua LPA Kota Mataram, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama NTB pernah menyampaikan bahwa Kemenag tidak memiliki kewenangan dalam mengawasi keberadaan atau aktivitas di dalam asrama pondok pesantren. Sebab, kewenangan Kemenag hanya mencakup aspek pendidikan dan perizinan lembaga pesantren.
Sebagai solusi, pemerintah daerah akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan dan Pembinaan Asrama Pondok Pesantren.
AKA menjelaskan, Satgas ini nantinya akan bertugas melakukan deteksi dini terhadap berbagai bentuk pelanggaran di lingkungan asrama. Termasuk kekerasan seksual, serta mengawasi kelayakan sarana prasarana, kebersihan, dan kenyamanan asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Pemprov NTB menegaskan, dalam kasus-kasus seperti ini, negara harus hadir melindungi korban, memastikan keadilan ditegakkan. Serta, menjamin ruang aman bagi setiap anak, termasuk di lingkungan pesantren.
“Pemprov NTB tidak akan membiarkan anak-anak kehilangan masa depannya. Dan ini menjadi penekanan Bapak Gubernur kepada kami untuk diatensi secara khusus, karena kekerasan yang seharusnya bisa dicegah. Kasus ini harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh bagi sistem perlindungan anak di NTB,” pungkas AKA. (*)