Mataram (NTBSatu) – Kebijakan efisiensi dari Pemerintah Pusat berdampak signifikan pada berbagai sektor. Sehingga mengharuskan sejumlah program pusat maupun daerah diberhentikan. Termasuk di NTB.
Di tengah gejolak efisiensi dan penghematan anggaran, Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal hadir dengan rencana barunya. Yaitu membentuk tim percepatan pembangunan daerah.
Tak selaras dengan kebijakan efisiensi dan penghematan anggaran yang Pemerintah Pusat arahkan. Iqbal membentuk tim percepatan yang rencana pembiayaannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengamat politik sekaligus Dosen Antropologi Politik Universitas 45 Mataram, Dr. Alfisahrin menilai, rencana pembentukan di tengah kebijakan efisiensi itu belum cukup mendesak.
Harusnya, kata Dr. Alfisahrin, Gubernur NTB terlebih dulu menuntaskan mutasi dan rotasi supaya ada penyegaran organisasi. Termasuk, menyelesaikan permasalahan tenaga honorer Pemprov NTB.
“Saya yakin kinerja birokrasi di NTB akan akseleratif dan cetak prestasi, meski tanpa bentuk tim percepatan pembangunan,” ungkapnya kepada NTBSatu, Minggu, 16 Maret 2025.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi NTB, jumlah tenaga honorer Pemprov NTB yang berpotensi tidak diperpanjang kontraknya sekitar seribuan lebih.
Alasannya karena memasuki usia pensiun, tidak memiliki ijazah, menggunakan ijazah palsu, hingga masa kerja kurang dari dua tahun.
Sementara, honorer yang lulus CPNS dan PPPK 2024 dan pengangkatannya ditunda masih dapat diterbitkan penunjukan kembali sebagai honorer. Hingga batas waktu penataan non ASN berakhir.
“Yang sudah memasuki usia pensiun, tidak punya ijazah atau ijazahnya palsu, sudah tidak boleh diterbitkan surat penunjukan kembali sebagai non ASN oleh kepala OPD-nya,” jelas kata Plt Kepala BKD NTB, Yusron Hadi kepada NTBSatu.
Sarankan Gunakan SDM Internal Pemprov
Di tengah kebijakan efisiensi ini, Dr. Alfisahrin menyarankan agar Gubernur NTB menggunakan Sumber Daya Manusia (SDM) di internal birokrasi Pemprov untuk membantu kinerjanya.
Menurutnya, sudah banyak birokrat hebat dan kompeten NTB yang dapat Iqbal andalkan gagasan, pemikiran, dan kontribusinya. Terutama untuk membangun birokrasi yang berkualitas dan berkelas dunia.
“Penentunya ada pada gaya dan kompetensi kepemimpinan Pak Iqbal,” ucapnya.
Doktor Alfisahrin menyebutkan, banyak pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban terkait pembentukan tim percepatan ini. Mulai dari sisi kesiapan anggaran Pemprov NTB. Seperti ketersediaan anggaran di tengah keharusan instruksi efisiensi.
Kemudian, bagaimana dengan soal kejelasan mekanisme, sistem yang digunakan, dan prosedur perekrutan anggota tim tersebut.
“Apakah tim ini dari kalangan profesional, teknokrat, atau birokrat. Anggarannya pun harus jelas sumber dan akuntabilitasnya,” tegas Dr. Alfisahrin.
Pertanyaan tersebut perlu Iqbal jawab, sebab berkaca dari tim-tim sejenis yang gubernur di banyak daerah bentuk. Seperti TGUPP di Jakarta, pada era kepemimpinan Anies Baswedan. Kemudian staf khusus (stafsus) era Gubernur NTB, Zulkieflimansyah.
“Banyak sekali tim ahli tetapi faktanya justru timbulkan “pemborosan” anggaran,” tutur Dr. Alfisahrin.
“Selebihnya, tim percepatan pembangunan sejenis casing-nya terlihat profesional tetapi isinya banyakan akomodasi tim sukses,” sambungnya.
Di sisi lain, lanjut Dr. Alfisahrin, pembentukan tim percepatan oleh Gubernur NTB sah-sah saja. Menurutnya, hal ini merupakan gagasan konstruktif di tengah stagnasi birokrasi daerah. Namun asalkan tidak kontra produktif dengan regulasi yang berlaku.
“Saya kira memang Pak Gubernur perlu sekali menunjukan corak baru, pendekatan baru dan model baru kepemimpinan di NTB,” terangnya.
Ubah Kultur dan Tatanan Birokrasi
Ide tentang pembentukan tim percepatan pembangunan dan rencana penerapan sistem meritokrasi birokrasi di NTB, layak mendapat apresiasi tinggi.
Artinya, Gubernur NTB terpilih memiliki komitmen berani dan tegas untuk mengubah kultur. Serta, tatanan birokrasi di NTB dari praktek yang akomodatif menjadi transformatif.
“Meritokrasi akan mencegah adanya transaksi kepentingan politik terselebung. Pak Iqbal tidak boleh terjebak lagi pada pola birokrasi patronase yang telah berurat akar di NTB,” ungkapnya.
Namun terkait pembentukan tim percepatan pembangunan ini, menurut Dr. Alfisahrin, melihatnya harus dari segi urgensinya bagi birokrasi. Apalagi pembentukannya di tengah kebijakan efisiensi anggaran.
Sebagaimana mengutip Max Weber, kata Dr. Alfisahrin, bahwa fungsi utama birokrasi adalah untuk menciptakan ketertiban, efisiensi, dan konsistensi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas.
Karenanya, mengacu pada konsep dan konteks tersebut, Pemerintah Pusat sejatinya sudah mengatur dan membagi habis dan rinci (komprehensif). Terkait tugas, kewenangan, target, anggaran, waktu, dan outcome yang harus pemerintah daerah capai.
Atas dasar itu, Dr. Alfisahrin kembali mempertanyakan urgensi dari pembentukan tim percepatan pembangunan ini.
“Secara semiotika politik, saya maupun publik akan membaca bahwa performa mesin birokrasi di NTB tidak efisien dan efektif. Sehingga adanya pembentukan tim percepatan,” pungkasnya. (*)