Jakarta (NTBSatu) – Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) melakukan rapat pembahasan penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) hari ini. Salah satu substansi yang dibahas dari rancangan perubahan ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 ini adalah usulan pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi.
Dalam rapat Baleg DPR disebutkan, ada beberapa pemberian prioritas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). WIUP di bawah 2.500 hektare bisa diberikan kepada usaha kecil dan menengah atau UKM lokal. Selain itu, prioritas WIUP akan diberikan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) dan perguruan tinggi.
Anggota Baleg DPR, Bambang Haryadi mengatakan, pemerintah memang menginginkan izin tambang tak hanya untuk ormas. “Tapi ke Universitas-universitas yang kompeten, misal UGM, UNDIP. Agar tidak membebani biaya kuliah, UKT (uang kuliah tunggal) bisa turun,” ujarnya, di gedung DPR, Senin, 20 Januari 2025 lalu, mengutip Tempo.
Respons Sejumlah Perguruan Tinggi
Wacana pemberian izin usaha pertambangan (IUP) secara prioritas kepada perguruan tinggi telah memicu perdebatan di kalangan akademisi, praktisi, dan masyarakat. Lantas, bagaimana reaksi dari kampus-kampus?
Universitas Gajah Mada (UGM)
Di UGM, suara penolakan datang dari pakar hukum tata negara, Herlambang Perdana Wiratraman. Herlambang mengkritik keras usulan ini sebagai bentuk kegagalan negara dalam mengelola pendidikan.
Menurut dia, alih-alih memberdayakan perguruan tinggi, wacana ini justru mencerminkan ketidakmampuan negara dalam menyediakan pendanaan yang memadai untuk pendidikan.
“Saya juga tekankan dampak negatif pertambangan terhadap lingkungan dan menyoroti potensi rusaknya integritas dunia pendidikan jika kampus terlibat dalam aktivitas bisnis yang berorientasi pada keuntungan,” ujar Herlambang Tempo, Minggu 26 Januari 2025.
Sementara itu, Sekretaris UGM, Andi Sandi menyatakan, UGM belum mengambil sikap resmi karena masih menunggu informasi dan regulasi yang lebih detail. UGM berprinsip untuk mempelajari regulasi terlebih dahulu sebelum memberikan pernyataan resmi.
Universitas Islam Indonesia (UII)
Rektor UII, Fathul Wahid dengan tegas menolak wacana ini. Kekhawatiran utamanya adalah potensi pergeseran fokus perguruan tinggi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) ke ranah bisnis pertambangan.
Fathul khawatir, orientasi kampus akan lebih condong pada profitabilitas, mengabaikan pengembangan akademik dan etika lingkungan. Ia juga menekankan, pengelolaan tambang bukanlah ranah keahlian perguruan tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Institut Teknologi Bandung (ITB)
Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Ridho Kresna Wattimena memberikan perspektif yang lebih teknis. Ia mengakui, ITB memiliki kapasitas dan keahlian dalam bidang pertambangan. Namun, menyoroti kendala pendanaan yang mungkin dihadapi kampus jika terjun ke bisnis ini.
Ridho juga mengingatkan tentang fluktuasi harga komoditas tambang dan risiko bisnis yang tinggi. Ia menekankan pentingnya good mining practice dan data lahan yang komprehensif sebelum kampus terlibat dalam pengelolaan tambang. Menurut dia, kampus harus belajar dari perusahaan tambang yang sudah mapan, terutama dalam aspek bisnis dan manajemen risiko.
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY)
Rektor UAJY, Gregorius Sri Nurhartanto, mengungkapkan kebingungannya terkait mekanisme pelaksanaan wacana ini. Ia mempertanyakan kriteria pemilihan perguruan tinggi yang berhak mengelola tambang dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat luas.
Sri juga khawatir keterlibatan kampus dalam bisnis pertambangan akan mengaburkan esensi perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan dan pengabdian masyarakat.
Soegijapranata Catholic University
Rektor Soegijapranata Catholic University, Ferdinandus Hindarto juga menolak wacana ini dengan alasan bahwa hal tersebut berada di luar tugas pokok perguruan tinggi.
Ia khawatir, kampus akan lebih sibuk mengurus pertambangan daripada kegiatan akademik. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada kebijakan yang meringankan beban biaya kuliah mahasiswa. (*)