Mataram (NTBSatu) – Dinas Kesehatan Kota Mataram, mencatat sebanyak 195 kasus positif HIV/AIDS sepanjang tahun 2024. Dari jumlah tersebut, 12 penyintas meninggal dunia. Lima di antaranya merupakan warga asli Kota Mataram, sedangkan sisanya berasal dari luar daerah.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram, dr. H. Emirald Isfihan menjelaskan, kasus HIV/AIDS yang tinggi ini membuat Mataram menjadi pusat rujukan kesehatan untuk seluruh wilayah di NTB.
“Kasus-kasus ini ditemukan di rumah sakit provinsi, rumah sakit kota, dan rumah sakit swasta yang berada di wilayah Kota Mataram. Karena lokasi rumah sakit ada di sini, maka data kasus juga tercatat sebagai milik Kota Mataram,” jelasnya.
Dari 195 kasus positif HIV/AIDS, sebanyak 73 penyintas tercatat sebagai warga asli Kota Mataram, sementara sisanya berasal dari luar daerah.
Namun, pihaknya belum dapat memastikan apakah angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya. Sebab, tidak ada data rinci tahunan.
Sejak tahun 2021 hingga 2023, Dinas Kesehatan Kota Mataram mencatat total 630 kasus kumulatif HIV/AIDS. Jika ditambah dengan data 2024, jumlah keseluruhan kasus menjadi 825.
Emirald menyebutkan, jumlah ini kemungkinan lebih besar karena fenomena “gunung es,” banyak kasus yang tidak terlaporkan atau tidak terdeteksi.
Strategi Pencegahan dan Penanganan
Untuk mengoptimalkan penemuan kasus dan pencegahan, pihaknya bekerja sama dengan berbagai pihak. Di antaranya, Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA), Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak (LPPA), dan Institusi Pendidikan.
Pengawasan dan edukasi kepada masyarakat juga terus pihaknya tingkatkan, untuk menekan angka penyebaran HIV/AIDS di wilayah NTB.
Sebagai respons terhadap tingginya angka kasus, Pemkot Mataram berencana menambah fasilitas kesehatan yang melayani HIV/AIDS.
Awalnya, layanan ini hanya tersedia di Puskesmas Dasan Agung. Namun, pada tahun ini, dua Puskesmas tambahan, yakni Puskesmas Selaparang dan Puskesmas Karang Pule, akan ikut melayani pasien HIV/AIDS.
Ketiga Puskesmas ini menyediakan layanan yang meliputi, screening HIV/AIDS, konsultasi, dan pengobatan dengan pemberian antiretroviral (ARV).
“Dengan bertambahnya titik layanan, kami berharap tidak ada lagi pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan atau bahkan tidak terdeteksi,” ujar Emirald.
Meski sebagian besar kasus berasal dari Kota Mataram, data bahwa penyintas HIV/AIDS juga banyak berasal dari dan kota lain di NTB.
Doktor Emirald menyebut, hal ini menunjukkan bahwa HIV/AIDS adalah masalah regional yang memerlukan perhatian bersama dari seluruh pihak. Dari pemerintah daerah maupun masyarakat.
“Dengan langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang terintegrasi, kami berharap angka kasus HIV/AIDS dapat ditekan. Serta kualitas hidup para penyintas semakin membaik,” pungkasnya. (*)