Mataram (NTBSatu) – Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan salah satu daerah dengan risiko bencana tinggi. Hal ini disebabkan letak geografis NTB merupakan daerah kepulauan dengan gunung api aktif.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, lebih dari 1.000 desa dan kelurahan di NTB memiliki risiko bencana tinggi. Dari jumlah tersebut, masih banyak desa yang belum masuk kategori Desa Tangguh Bencana (Destana).
“Kalau sekarang baru 400-an desa kelurahan yang sudah ditangguhkan,” kata Direktur Kesiapsiagaan BNPB, Pangarso Suryotomo, Kamis, 7 November 2024.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP Muhammadiyah, melalui program Siap Siaga mengimplementasikan program “Karang Tangguh” di NTB. Dalam hal ini digelar di Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Tengah.
Siap Siaga merupakan program kemitraan antara Australia dan Indonesia yang bertujuan untuk memperkuat ketangguhan bencana di Indonesia dan Kawasan Indo-Pasifik.
Hal ini sebagai langkah kerja kolaborasi dan partisipasi berbagai pihak dalam kegiatan pengurangan risiko bencana di desa.
Program Manager Karang Tangguh, Priyo A. Sancoyo mengatakan, program Karang Tangguh ini dilakukan baru lima desa yang tersebar di Lombok Utara dan Lombok Tengah. Kurun waktu Oktober 2023 sampai November 2024 program ini sudah menghasilkan beberapa produk yang bisa dimanfaatkan dalam pengurangan risiko bencana di desa.
“Di antaranya paduan Karang Tangguh, buku saku perencanaan dan penganggaran APBDes berbasis pengurangan risiko bencana, komik pengurangan risiko bencana dan paduan pengabdian masyarakat,” jelasnya.
Adapun praktik baik dalam program Karang Tangguh yang telah dilaksanakan meliputi pelatihan identifikasi risiko bencana, rangkaian geladi bencana, dan pemberdayaan sumber daya lokal.
“Juga pembentukan tim/relawan siaga bencana, dan diseminasi edukasi melalui media lokal dan nasional,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua MDMC Pimpinan Pusat Muhamadiyah, Budi Setiawan menjelaskan, program Karang Tangguh ini merupakan pengembangan dari kegiatan di Muhamadiyah sebagai salah satu ormas yang bergerak dibidang pendidikan dan kesehatan.
Ia berharap, melalui kegiatan ini dapat menjadi model percontohan yang dapat diadopsi oleh wilayah-wilayah rawan bencana lainnya di Indonesia.
“Program ini menunjukkan bahwa kesiapsiagaan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat yang berkomitmen untuk melindungi diri dan sesama,” ujarnya.
Perwakilan kedutaan Australia, Simon Flores mengatakan, alasan Australia tertarik untuk berkolaborasi dengan Indonesia dalam mitigasi bencana, karena memiliki kedekatan baik secara geografis maupun jenis bencana yang dihadapi.
Selain itu Australia juga banyak belajar dari Indonesia mengenai penanganan kebencanaan seperti kebakaran hutan, banjir dan kekeringan.
“Karena kita tetangga, Australia mau membantu Indonesia karena banyak belajar juga karena banyak situasi yang sama, ada bencana alam di Australia kebakaran hutan, banjir, kekeringan,” kata Simon.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, Ahmadi mengatakan, adanya penganggaran APBDes untuk pengurangan risiko bencana diharapkan desa mampu meningkatkan kualitas SDM berkaitan dengan kebencanaan.
“Nanti kepala desa harus belajar bagaimana penggunaan anggaran itu, kalau sebelumnya kita yang tawarkan untuk belajar menjadi Destana, sekarang mereka yang datang buat belajar,” kata Ahmadi. (*)