Mataram (NTBSatu) – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggelar sosialisasi tentang sistem perlindungan inklusif untuk saksi dan korban.
Melalui kegiatan ini, LPSK mengajak semua pihak, termasuk Pemerintah Daerah atau Pemda membangun kerja sama, guna mengoptimalkan perlindungan terhadap saksi dan korban.
“Kita sedang memperkuat untuk mekanisme khusus, sehingga memang untuk anak-anak yang menjadi korban diberikan perlakuan khusus,” kata Pimpinan LPSK, Sri Nurherawati, Kamis, 24 Oktober 2024.
Sri menyampaikan, terdapat sejumlah kekerasan yang menjadi prioritas LPSK. Di antaranya, perdagangan orang, kekerasan seksual atau kekerasan seksual anak, korupsi, penyiksaan, narkotika, penganiayaan berat, pelanggaran HAM berat, pencucian uang, terorisme, dan tindak pidana lain terkait ancaman jiwa.
Sejauh ini, lanjut Sri, berdasarakan data tahun 2023, jumlah permohonan perkara TPPO berasal dari NTB sebanyak 179 permohonan. Termasuk, yang tertinggi di Indonesia.
“NTB masuk kategori tinggi secara nasional kasus TPPo, setelah Cianjur,” ujarnya.
Kemudian, permohonan perlindungan dari kasus pernikahan usia anak dari NTB tergolong rendah. Padahal, tahun 2023 data Pengadilan Tinggi Agama NTB mencatat, kasus permohonan dispensasi nikah 723 kasus. Bahkan, pada tahun 2021 angkanya mencapai 1.127 kasus.
“Kalau perkawinan tidak dilaporkan sebagai tindak pidana, tetapi malah dimintakan dispensasi,” ujar Sri.
Sementara itu, Sekertaris Daerah NTB, H Lalu Gita Ariadi berharap antara pemerintah daerah dan LPSK bisa berkolaborasi dalam menyelesaikan persoalan ini. Khususnya berkaitan dengan TPPO, pernikahan usia anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kasus-kasus lainnya.
“Tadi langsung kami minta mohon ada surat kita kerja sama. Karena, banyak sekali kasus-kasus potensial di NTB ini,” tutur Gita.
Gita juga berharap, melalui kolaborasi ini bisa menuntaskan masalah terkait modus-modus operandi seperti TTPO dan sebagainya.
“Harapannya tidak ada kegelapan dalam kasus hukum. Orang yang ingin berbuat dengan modus-modus operandi, dan yang menjadi korban agar bisa speak up,” pungkasnya. (*)