Mataram (NTBSatu) – Asosiasi Pedagang Perajin Mutiara Lombok mempersoalkan keberadaan Warga Negara Asing (WNA) asal China yang berbisnis mutiara secara ilegal.
Ketua Asosiasi Pedagang Perajin Mutiara Lombok, H. Fauzi menduga, WNA tersebut membuka lapak penjualan mutiara tanpa mengantongi izin. Karena itu, pihaknya berinisiatif membangun komunikasi dengan Kementerian Hukum dan HAM NTB. Harapannya pembukaan lapak itu bisa ditertibkan.
Menurutnya, perlu adanya penertiban para pedagang mutiara WNA China tersebut karena mengancam pedagang lokal. Apalagi jumlah mereka kian hari semakin menjamur.
“Kami mempersoalkan keberadaan WNA China yang membuka lapak secara ilegal. Bukan terkait produk mutiara ilegal. Kalau terkait itu memang bukan ranah kami, tapi ranah pihak berwajib,” kata Fauzi, Minggu, 13 Oktober 2024.
Asosiasi menyampaikan permohonan maaf kepada para buyer dan Pemerintah China dengan harapan tidak salah paham atas apa yang terjadi kemarin.
Fauzi mengaku, pihaknya menjamin keamanan dan kebebasan membeli mutiara di tempat yang resmi. Dengan catatan, tidak melanggar aturan di Indonesia.
“Asosiasi tidak pernah melaporkan atau merekomendasikan penangkapan 10 orang yang pihak Imigrasi amankan. Itu murni wewenang aparat penegak hukum. Justru di antara 10 orang itu, empat orang merupakan pembeli mitra dari beberapa anggota asosiasi yang datang sebagai wisatawan,” bebernya.
Tindakan Imigrasi Dipertanyakan
Sementara Wakil Ketua Asosisi, Edy Gunarto mempertanyakan Kantor Imigrasi terkait penangkapan empat WNA tersebut. Padahal keempatnya merupakan buyer.
Meski begitu, ia tetap menghormati lembaga negara yang berwenang. Persoalan itu perlu diperjelas agar berita ini tidak bias dan masyarakat juga tahu.
“Kami dari Asosisasi sangat berharap untuk duduk bersama untuk silaturahmi mencari solusi untuk kebaikan bersama. Hal Ini sekaligus sebagai undangan terbuka untuk rekan-rekan perwakilan pedagang mutiara China di Lombok yang resmi,” ungkapnya.
Asosiasi berencana mengundang para penjual dan pembeli mutiara asal China. Sekaligus berupaya memaksimalkan membantu program Pemerintah RI dalam meningkatkan jumlah kunjungan pariwisata NTB.
Ia berharap, dengan adanya rencana pertemuan anggota Asosiasi dan perwakilan pedagang mutiara Cina di Lombok pada Senin, 14 Oktober 2024 bisa menghasilkan solusi terbaik untuk kepentingan bersama.
Pengusaha Sudah Kantongi Izin
Sebelumnya, salah satu pengusaha China, Qian Jiacheng menyebut, mutiara yang mereka jual merupakan produk lokal. Ia menjual barang tersebut ke luar negeri melalui perusahaan dan kunjungan para tamu.
“Kami jual ke luar negeri melalui perusahaan kami dan kunjungan tamu-tamu kami yang datang dari China,” katanya kepada wartawan, Kamis, 10 Oktober 2024.
Salah satu buktinya dua dokumen transaksi pembelian mutiara dari pengusaha di Kota Mataram pada Juli 2024 melalui PT Star Light Mutiara.
Saat itu ia embeli 320 butir mutiara dengan berat 1 kilogram dari Ana Pearls yang bertempat di Sekarbela, Kota Mataram. Nulainya Rp1,15 miliar.
Transaksi kedua pada 17 Juli 2024 dengan CV NR Lombok Pearl. Qian Jiacheng melalui perusahaan yang sama membeli 1.761 butir mutiara dengan berat 1,27 kilogram. Harganya Rp482 juta.
PT Star Light Mutiara menjalankan usaha dagang di wilayah Senggigi, Lombok Barat. Qian Jiacheng mengaku, perusahaan tersebut mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM pada 15 Agustus 2024 lalu.
Perusahaan miliknya juga sudah mendapatkan nomor induk berusaha. Bekerja di bidang usaha perdagangan besar hasil perikanan dan produk lainnya YTDL. Termasuk mutiara dan sudah terdaftar sebagai Penanaman Modal Asing (PMA).
“Saya juga sudah memiliki KITAS (kartu izin tinggal terbatas) yang pihak imigrasi keluarkan,” ucap Qian.
Qian menyayangkan sikap Imigrasi Mataram yang mengamankan 10 WNA China Mataram pada Senin, 7 Oktober 2204 lalu. Diketahui, pihak Imigrasi mengamankan WN China karena diduga terlibat dalam impor mutiara secara ilegal.
Padahal, sambung Qian, 10 WN China itu merupakan tamu yang akan membeli mutiara produksi lokal. Kemudian, menjual kembali ke negeri tirai bambu tersebut. (*)