Mataram (NTBSatu) – Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah mengusulkan pembuatan film penjahit Sang Saka Merah Putih, Fatmawati. Hal ini diungkapkannya dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Republik Indonesia.
“Seharusnya yang diperjuangkan untuk ditulis bukunya, digali sejarahnya dan dibuatkan filmnya adalah Ibu Fatmawati,” kata Politisi Nasional asal NTB itu, Minggu, 18 Agustus 2024.
Sebab, Fatmawati merupakan istri dari Presiden Indonesia pertama, Soekarno dan ibu dari Presiden Indonesia kelima, Megawati Soekarnoputro.
“Ibu Fatmawati juga merupakan simbol keberanian yang dapat menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia. Karena Ibu Fatma inilah yang berani menolak poligami dengan keluar dari istana ketika mendengar dan memastikan kabar Presiden Soerkarno menikah lagi,” jelas Fahri.
Wakil Ketua DPR RI 2014-2019 itu juga tak setuju, jika penamaan salah satu bandara udara di Indonesia menggunakan penggabungan nama Fatmawati dengan Soerkano. Menurutnya, itu seakan-akan tunduk pada bayang-bayang kesuksesan dan nama besar suaminya.
“Biarlah Bu Fatma dengan namanya sendiri, karena dia adalah manusia sejarah yang besar. Bukan sebagai istri Soekarno,” imbuh Fahri.
Biodata Fatmawati
Sebagai informasi, perempuan asal Bengkulu ini memiliki nama asli Fatimah. Ia lahir tanggal 5 Februari 1923 dari ibu bernama Siti Chadidjah dan Ayahnya, Hassan Din.
Ia berkesempatan menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Lalu, melanjutkan ke sekolah kejuruan organisasi Katolik.
Pertemuannya dengan Soerkano berawal dari pengasingan sang proklamator di Flores ke Bengkulu oleh Pemerintah Belanda. Soekarno, yang saat itu menjadi anggota Muhammadiyah dan guru di sana, kemudian melamarnya. Soekarno dan Fatmawati pun menikah di Jakarta pada 1943.
Sejak itu, ia mendampingi Soekarno dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dalam mendampingi suaminya tersebut, ia turut meninggalkan jejaknya dengan menjahit bendera Sang Saka Merah Putih.
Ia menjahitnya dengan mesin jahit Singer yang digerakkan dengan tangan. Kondisi badan dan besarnya bendera membuat Fatmawati butuh dua hari untuk menyelesaikan pembuatannya di akhir 1944.
Fatmawati kelak menolak poligami dan berpisah dengan Soekarno. Ia kemudian menetap di sebuah paviliun di Jalan Sriwijaya, dekat Masjid Baitul Rachim.
Dalam perjalanan pulang dari umrah di Mekah, Fatmawati terkena serangan jantung dan meninggal di General Hospital, Kuala Lumpur, pada 14 Mei 1980. Jenazahnya bersemayam di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet, Jakarta.
Presiden Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, menganugerahinya dengan gelar Pahlawan Nasional, melalui surat Keputusan Presiden RI No 118/TK/2000 tanggal 4 November 2000. (*)