Mataram (NTBSatu) – Mantan Bupati Lombok Barat, Zaini Arony menjadi tersangka dugaan korupsi lahan Lombok City Center (LCC), Senin, 24 Februari 2025.
Ia menjalani pemeriksaan selama beberapa jam, mulai sekitar pukul 09.00 Wita. Zaini keluar meninggalkan gedung Adhyaksa sekitar pukul 16.00 Wita dengan mengenakan rompi tahanan.
Bupati Lombok Barat dua periode itu menjalani penahanan selama 20 hari ke depan di Rutan Praya, Lombok Tengah. Terhitung sejak hari ini.
“Kami tim penyidik Kejati NTB telah menetapkan sebagai tersangka, lanjut ke penahanan. Mantan komisaris utama PT Tripat, sekaligus mantan Bupati Lombok Barat,” kata penyidik Kejati NTB, Hasan Basri.
Jaksa menyangkakan pasal Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Zaini Arony sebelumnya dua kali mangkir dari panggilan kejaksaan. Kepala Kejati NTB, Enen Saribanon mengatakan, Bupati Lombok Barat dua periode mangkir dari panggilan penyidik akarena alasan sakit.
“Yang bersangkutan sudah kami panggil dua kali. Alasannya sakit. Ada surat keterangannya,” kata Enen, Selasa, 18 Febuari 2025.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga NTB ini tercatat pernah menjalani pemeriksaan di Kejati NTB dugaan korupsi Lombok LCC pada Jumat, 30 Agustus 2024 lalu. Ia menghadap jaksa bersama mantan Kepala BPKAD Lombok Barat, Burhanudin.
Dua Tersangka Sebelumnya
Di hadapan wartawan ia mengaku, mendapat pertanyaan seputar lahan bangunan yang bertempat di Desa Grimax, Kecamatan Narmada tersebut.
“Ya, seperti kemarin (saat penyelidikan), saya ditanya seputar LCC,” ungkapnya.
Dalam kasus ini, Kejati menetapkan dua tersangka pada Jumat, 31 Januari 2025. Pertama Direktur PT Bliss, Isabel Tanihaha. Kemudian, Mantan Direktur PT Tripat, Lalu Azril Sopandi.
“Menahan salah seorang tersangka Mantan Direktur PT. Bliss Pembangunan Sejahtera,” kata penyidik Pidsus Kejati NTB, Hasan Basri.
Dugaannya, mereka melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan Kerja Sama Operasional (KSO) antara PT Bliss dengan PT Tripat.
“Kerugian negara Rp39 miliar,” ucap penyidik Pidsus Kejati NTB, Hasan Basri. Angka itu berasal dari lahan dan kontribusi tetap.
Jaksa menyangkakan pasal Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kepala Kejati NTB sebelumnya menyebut, pihaknya bakal menetapkan empat orang sebagai tersangka. Menyinggung siapa saja, Enen tak menjelaskan secara detail.
Riwayat Kasus LCC
Sebagai informasi, sebelumnya jaksa pernah mengusut kasus serupa. Hasilnya, dua orang menjadi tersangka. Mereka adalah mantan Direktur PT Tripat Lombok Barat, Lalu Azril Sopandi dan mantan Manager Keuangan PT Tripat, Abdurrazak.
Hakim memvonis Lalu Azril Sopandi dengan 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan. Tak hanya itu, ia juga mendapat beban membayar uang pengganti Rp891 juta subsider 2 tahun penjara.
Sedangkan Abdurrazak, hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan. Majelis pun membebankan yang bersangkutan membayar uang pengganti Rp235 juta subsider satu tahun penjara.
Majelis hakim menguraikan proses penyertaan modal dan ganti gedung yang berdiri pada tahun 2014 lalu. Saat Azril Sopandi menduduki jabatan Direktur PT Tripat, perusda mendapat penyertaan modal dari Pemda Lombok Barat berupa lahan strategis di Desa Gerimak, Kecamatan Narmada.
Lahan itu menjadi modal PT Tripat membangun kerja sama untuk mengelola LCC dengan pihak ketiga, yakni PT Blis.
Lahan seluas 4,8 hektare dari total 8,4 hektare, jadi agunan PT Bliss. Dari adanya agunan tersebut, PT Bliss pada tahun 2013 mendapat pinjaman Rp264 miliar dari Bank Sinarmas.
Majelis hakim menilai perjanjian kerja sama PT Tripat dengan PT Blis adalah pelanggaran hukum. Karena selain klausul mencantumkan periode kerja sama tanpa batas waktu, juga tertutupnya peluang adendum. (*)