Oleh: Ahmad Efendi
Di antara sekian banyak bakal calon gubernur NTB yang hendak bertarung di pilkada 2024 , nama Lalu Muhammad Iqbal (LMI) merupakan nama yang cukup menarik untuk didiskusikan. Mengapa? Karena LMI di samping sebagai pejabat pusat di Kementerian Luar Negeri juga hendak mencalonkan diri sebagai gubernur NTB 2024 kini.
Jikalau diteliti secara seksama maka dapat diambil kesimpulan bahwa pilihan untuk menjadi gubernur adalah merupakan pilihan nomer terakhir. Bagaimana pun untuk menjadi calon memerlukan biaya sosial-politik bahkan biaya ekonomi yang tidak murah. Kondisi demikian sudah pasti menjadi pertimbangan.
Hal ini terlihat dari berbagai pemberitaan di mana semua calon berburu partai. Satu partai diklaim banyak calon. Sedangkan partai-partai politik pun nampak tarik ulur. Seperti mau memberikan jalan, tetapi sulit juga. Nampak mudah digapai, tetapi tinggi di awan.
Contoh menarik dari permainan politik jelang pilkada adalah ketika Partai Golkar diklaim oleh tiga calon gubernur sekaligus. Abah uhel yang sudah deklarasi di Lombok Tengah baru-baru ini mengklaim mendapatkan rekomendasi dari partai Golkar.
Selangkah kemudian Miq Gita Ariadi yang merupakan Pj. Gubernur yang juga hendak mencalonkan diri sebagai gubernur mengatakan bahwa sesama bus angkutan tidak boleh saling mendahului. Pernyataan yang mengandung arti bahwa Miq Gita juga “mengklaim” partai Golkar sebagai kendaraannya. Bahkan diberitakan pula Miq Gita segera menemui Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar NTB usai Abah Uhel deklarasi. Mengandung arti bahwa Miq Gita sedang “mempertahankan” Golkar sebagai kendaaraanya.
Belum lagi dengan bakal calon (Balon) seperti LMI di mana disampaikan sebagai refresentasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang juga akan menggiring partai-partai pilpres kemarin untuk sebagai kendaraanya di pilgub NTB. Wacana ini terus menggelinding sejak cukup lama, namun tiada kunjung definitif sampai artikel ini dituliskan. Sementara kubu seperti Rohmi-Firin relative sudah cukup maju berjalan dalam prosesnya menjadi calon.
Memang masih ada waktu untuk mendapatkan rekomendasi partai, namun waktu terus bergerak menyempit. Padahal perlu banyak waktu untuk menemui masyarakat sebagai konstituen. Masyarakat perlu ditemui langsung, karena baliho yang banyak bertebaran tidak cukup membangun chemistery dan keyakinan pemilih untuk dibawa dalam ingatannya menuju TPS-TPS di bulan November 2024 mendatang.
Di sisi lain untuk maju sebagai balon, LMI juga harus segera menemukan pasangannya. Masalah ini seperti tidak kalah ribet nya. Beberapa nama dari etnik Bima diajukan seperti Ibu Indah Damayanti Putri, bupati II periode yang sedang mau mencalonkan anak nya sebagai Bupati Bima sebagai penggantinya yang juga menjadi problem tersendiri baginya.
Ust. H. Arsyad Gani (Mantan Rektor Muhmmadiyah dan pensiunan ASN), M. Syarifuddin, mantan DPR RI 3 periode dari PAN. Ada juga putra dari mantan gubernur Harun Al-Rasyid. Sampai saat ini belum ada yang defintif menjadi pasangan LMI.
Rational Choice
Dari teori pilihan rasional, penulis bertahan pada pendapat bahwa LMI akan memilih tidak akan pulang ke NTB untuk maju menjadi gubernur. Alasannya seperti yang diuraikan secara singkat di atas. Alasan lain LMI masih panjang waktunya untuk melepas kan karir gemilangnya di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Dengan rentang usia yang masih cukup panjang untuk pensiun, tentunya LMI bisa menjalani kehidupannya dengan nyaman tanpa harus berjibaku dalam urusan pencalonan yang cukup banyak menguras tenaga, waktu, biaya dan lain sebagainya.
Pada posisinya saat ini LMI tentu nya akan memperbandingkan bagaimana “lelahnya” menuju pendaftaran di KPU. Belum lagi tidak ada insurance untuk menjadi pemenang karena dari catatan yang ada LMI belum sempat banyak menemui konstituen untuk membangun chemistry dan ikatan lainnya dan lain sebagainya.
Kondisi demikian betul-betul memerlukan keterlibatan penuh personal LMI. Tidak bisa sambil lalu dengan tetap berstatus sebagai ASN di Deplu RI. Kerja politik perlu pelibatan sisi lahir dan bathin. Tidak bisa setengah-setengah, apalagi skala yang dimainkan adalah skala provinsi dari ujung barat ampenan sampai ujung timur Bima.
Tidak berhenti di juru bicara Deplu RI, LMI mempunyai prospek cerah untuk maju sebagai Menteri Luar Negeri RI atau pun yang setingkat dengan jabatan kementerian lainnya. Secara pilihan rasional posisi-posisi sebagai petinggi negara tentunya lebih prestisius dari pada harus turun ke daerah.
Bukan hendak menurunkan apresiasi masyarakat NTB agar LMI pulang untuk mengabdi, tetapi dengan banyak nya liku yang harus dilalui menuju KPU kiranya dapat menjadi faktor pertimbangan yang tidak bisa disampingkan.
Sementara bila hendak berusaha agar melenggang ke puncak dari posisi nya sebagai juru bicara Kementerian Luar Negeri jauh lebih kondusif. Jalannya lebih mulus dan terang karena bagaimana pun LMI sudah dikenal oleh semua petinggi negeri. Tinggal mainkan sedikit banyak usaha lobbying pada berbagai pihak di mana semua sudah menjadi koleganya karena sama-sama di bawah pemerintahan Presiden Jokowi Dodo II periode.
Dari sini penulis berkesimpulan bahwa LMI akan memilih tinggal di Jakarta. Jalan-jalan untuk pulang ke NTB terlalu banyak aral rintangannya dibandingkan dengan harus tetap tinggal di Jakarta. Belum lagi pertaruhan karir yang masih cukup panjang di Deplu RI yang bisa juga menjadi modalnya untuk naik ke kursi kekuasaan yang lebih tinggi.
LMI saat ini bisa jadi akan menjadi pemimpin NTB masa depan. Bagaimana pun kerja politik adalah kerja panjang. Kerja politik bukan sehari dua hari, namun memerlukan timing yang lumayan panjang karena berkaitan dengan banyak kelompok dan individu di masyarakat. Apalagi sistem politik saat ini adalah sistem demokrasi one man one vote sudah pasti memerlukan tidak sedikit waktu.
*Pemerhati Sosial-politik, Staf Pengajar Jurusan Sosiologi Agama UIN Mataram.