BERITA NASIONAL

Kisah Low Tuck Kwong Sang Penguasa Energi yang Menggali Triliunan di Tanah Borneo

Mataram (NTBSatu) – Di balik geliat bisnis tambang batu bara nasional, satu nama mencuat bak raja takhta energi, Low Tuck Kwong, tokoh fenomenal yang kini menduduki posisi puncak dalam daftar orang terkaya di Indonesia.

Menurut Forbes Real Time Billionaires, per 3 Juni 2025, pria pendiri PT Bayan Resources Tbk (BYAN) ini mengantongi kekayaan fantastis sebesar 27,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp447,75 triliun. Menjadikannya penguasa tambang sekaligus taipan terbesar di negeri ini.

Awal Mula dari Tanah Kalimantan

Kisah kesuksesan Low bukan kisah instan. Ia memulai langkah berani pada November 1997 dengan mengakuisisi konsesi tambang pertama di Muara Tae, Kalimantan Timur, lewat PT Gunungbayan Pratamacoal (GBP).

IKLAN

Sejak itu, gerak ekspansifnya seperti tak terbendung. Ia mengakuisisi PT Dermaga Perkasapratama (DPP) yang mengelola pelabuhan batu bara Balikpapan Coal Terminal (BCT) dan mendirikan PT Bayan Resources Tbk pada Oktober 2004.

Pada 2008, BYAN resmi melantai di Bursa Efek Indonesia. Harga IPO Rp5.800 per saham, menjadi Rp19.775 pada penutupan perdagangan, 5 Juni kemarin.

Dari akuisisi KFT-1 dan KFT-2 untuk proyek di Kalimantan, hingga menjadi pemilik tunggal Kangaroo Resources Pty Ltd (KRL) pada 2018, Low terus memperluas cengkeramannya di sektor batu bara Indonesia dan Australia.

Dari 1,9 Juta Ton Menjadi 60 Juta Ton

Capaian produksi Bayan mencerminkan kegigihan Low dalam membesarkan bisnisnya.

IKLAN

Dari hanya 1,9 juta ton pada 2014, perusahaan ini melesat hingga memproduksi 56,9 juta ton batu bara pada 2024, naik hampir 14,5 persen dari tahun sebelumnya. Penjualan pun mencatat rekor baru, mencapai 56,2 juta ton, alias naik 19,07 persen daripada tahun 2023.

Rata-rata pertumbuhan tahunan BYAN dalam lima tahun terakhir berada di kisaran 17,55 persen untuk produksi, dan 11,86 persen untuk penjualan. Angka yang menunjukkan Bayan bukan hanya stabil, tapi terus melaju.

Target ambisius selanjutnya, 60 juta ton per tahun pada 2026, melalui perluasan besar-besaran Proyek Tabang/Pakar.

Menariknya, meski orang mengenalnya sebagai raja batu bara, Low juga tak tinggal diam dalam menghadapi transisi energi global.

Ia kini mengendalikan Metis Energy di Singapura, perusahaan yang dulunya bernama Manhattan Resources, yang fokus pada energi terbarukan. Diversifikasi ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya bertransformasi di era dekarbonisasi.

IKLAN

Jejak Bisnis Multinasional

Low memegang 40,17 persen saham BYAN, sementara publik hanya menggenggam 21,3 persen. Ia juga tercatat memiliki 14,18 persen saham di PT Samindo Resources Tbk (MYOH), yang bergerak di bidang jasa pertambangan. Selain itu, Low juga terafiliasi dengan The Farrer Park Company, yang kini dikelola oleh putrinya, Elaine Low.

Latar belakangnya sebagai kontraktor lulusan diploma teknik sipil dari Japan Institut, serta gelar doktor kehormatan dari Universitas Notre Dame of Dadiangas, Filipina, menambah bobot intelektualnya sebagai pengusaha tangguh.

Bermula dari kerja di perusahaan konstruksi milik ayahnya di Singapura, Low hijrah ke Indonesia pada 1972 dan mendirikan PT Jaya Sumpiles Indonesia (JSI) pada 1973, perusahaan spesialis pondasi yang berkembang menjadi kontraktor tambang.

Tahun 1998, ia masuk lebih dalam ke dunia batu bara, dan sisanya adalah sejarah.

Tak banyak yang berani memulai dari nol di negeri orang, tapi Low Tuck Kwong melakukannya. Dari proyek konstruksi kecil hingga menjadi magnat batu bara, ia menulis kisahnya sendiri dengan kerja keras, strategi bisnis jitu, dan intuisi tajam. Kini, ia bukan sekadar orang terkaya di Indonesia, tetapi juga simbol dari ambisi, keteguhan, dan transformasi industri. (*)

Berita Terkait

Back to top button