OpiniWARGA

Air Bersih, Bom Waktu Bagi Masyarakat Bima

Oleh: Furqan Sangiang (Dosen Pascasarjana Ummat)

Jika laporan terkait  35 persen air di salah satu kota afrika didapatkan melalui tindakan illegal atau pencurian karena adanya krisis air yang parah apakah kita masih tidak membunyikan alarm betapa serius ancaman kekeringan, dan krisi  air bersih (dw.com unicef). 

Atau Jika laporan yang  menunjukan 190 juta anak-anak kesulitan mengakses air bersih di afrika dan sekitar 1,1 miliar orang di seluruh dunia kekurangan akses air belum juga mengubah cara pandang kita terhadap lingkungan, maka jangan salahkan jika generasi selanjutnya akan merasakan dampak yang kian parah.

Sebuah catatan penting yang dilaporkan oleh BPPD NTB tahun 2019 bahwa ada 39 desa dari 11 kecamatan di Kabupaten Bima  mengalami krisi air bersih dan 23, 393 jiwa terdampak (BPBD), dan sekitar 700 titik mata air yang tersebar di Kota dan Kab Bima sisanya saat ini hanya tersisa 200 titik mata  air (BPKH 2019).  

Bahkan dalam sebuah tulisan yang dipublish oleh salah satu media menyoroti adanya satu sumur air di salah satu desa di Kabupaten Bima dikelilingi puluhan pompa air karena kondisi kekeringan terjadi. Bayangan krisi air bersih, kekeringan, dan banjir sebenarnya sudah jelas nyata dirasakan oleh masyarakat bima karena hampir setiap tahun terjadi. 

Namun hal yang sangat disayangkan kondisi tersebut justru tidak berefek kepada kesadaran kolektif terhadap lingkungan. Dan justru tingkat kerusakan hutan untuk perladangan jagung  kian tinggi, laporan dari Walhi NTB sekitar 15.790 hektar hutan  di Kabupaten Bima mengalami kerusakan yang cukup parah (Walhi).

Begitupun kondisi beberapa Bendungan seperti Bendungan Sumi, Pela Parado, Roi yang menjadi pusat irigasi masyarakat sekitar dilaporkan bahwa kondisi hutannya mengalami kerusakan serta terjadi penurunan debit air (observasi langsung).

Dari gambaran di atas tidak berlebihan jika kondisi bima akan mengalami krisis air bersih dan kekeringan yang parah  di waktu-waktu akan mendatang mungkin bukan sesuatu yang utopis atau kampanye untuk menakuti. Melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi di beberapa wilayah.

Sebab prasyarat menuju kepada ancaman tersebut kian nyata seperti ekosistem hutan yang menampung dan menyerap air kian rusak dan tidak terkendali, pohon atau hutan di area sekitar bendungan sebagai pusat irigasi untuk pengairan sudah habis dibabat, pemboran air tanah yang masih dilakukan dan kian tidak terkendali.

Salah satu hal yang menjadi renungan yaitu pendapat  Edith Brown Weis, ia memaparkan bahwa ada tiga tindakan generasi sekarang yang sangat merugikan generasi mendatang. Pertama konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya berkualitas, kedua pemakaian sumber daya alam yang berlebihan, ketiga pemakain sumber daya alam secara habis-habisan oleh generasi dulu dan sekarang yang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman hayati. Dari ulasan Brown  Weits di atas air yang seharusnya menjadi berkah dan sumber kebutuhan yang utama bagi manusia justru akan  berpotensi mengalami kelangkaan. Hal ini harus menjadi kesadaran kolektif semua pihak bahwa penting untuk memikirkan generasi selanjutnya dan  ancaman kekeringan, krisis air bersih menjadi bom waktu sepuluh atau dua puluh tahun mendatang jika tidak ditangani dengan baik.

Benih-Benih Konflik Karena Air

Air adalah kebutuhan manusia yang sangat penting, krisi air akan berdampak langsung terhadap manusia, karena dalam tubuh manusia terdiri dari setidaknya 60 – 70 persen air. Dengan kadar air yang tinggi di dalam tubuh maka setiap manusia  membutuhkan sekitar dua liter per hari belum lagi untuk kebutuh kehidupan lain nya.

Melihat pentingnya air dalam kehidupan manusia, menjadikan air sebagai salah satu hak asasi manusia yang harus terpenuhi. Hari air sedunia yang diperingati setiap tanggal 22 maret  mengangkat tema “ Air Untuk Perdamaian”. Namun tema ini menarik untuk dikaji dan dikaitkan untuk Bima.

Bukan tanpa sebab, karena problem air telah memicu benih-benih konflik. Sebuah laporan penulis yang dimuat dalam disertasi yang berjudul “Peran Kearifan Lokal Maja Labo Dahu Dalam Pencegahan Kerusakan Hutan di Kabupaten Bima” dalam laporan observasi dan temuan tersebut ternyata persoalan air hampir melahirkan konflik antara salah satu desa di kecamatan wera yang disebabkan terjadinya pemotongan pipa oleh warga salah satu desa dan alasan yang dilaporkan khawatir desanya akan mengalami kekurangan air dan hal itu hampir melahirkan konflik.

Hal yang sama juga terjadi   di Kecamatan  Soromandi, dan  Monta. Dari problematika tersebut bahwa problem krisi air bersih juga berdampak kepada benih-benih konflik, sehingga perlu pemetaan dan kesadaran yang serius dari semua pihak sehingga hal ini tidak menjadi bom waktu bagi bima yang akan datang.

Solusi dan Keberpihakan

Kita membayangkan betapa  rindang dan teduhnya hutan yang ada di ncai kapenta jalur menuju Wera dan Ambalawi sekitar tahun 2000 an. Disana kita menemukan berbagai pohon yang tinggi dan besar dengan aneka satwa burung dan lainnnya. Belum lagi sumber mata air yang cukup melimpah  yang bisa  dilihat jika melewati dari terminal Jatiwangi ke Wera dan Ambalawi. 

Namun sayang kondisi tersebut  hanya sebatas memori bagi warga Wera dan Ambalawi, sekarang justru jauh berubah. Pohon yang dulu rindang kini hanya terlihat tebing yang gundul dan berwarna kuning bekas tanaman jagung. Bahkan kemiringan atau tebing berubah menjadi lahan untuk tanaman jagung, sungguh sebuah pemandangan yang amat kompleks memprihatinkan. 

Belum lagi fase tahun 2000 an jika masyarakat ingin air bersih cukup ke area sungai sudah tersedia air bersih yang bisa untuk di minum, begitupun untuk pengairan tinggal menarik dan memasukan selang ke sungai dan di sedot menggunakan mesin. Namun sekarang amat sulit untuk didapatkan lagi, untuk urusan irigasi saja harus melakukan pemboran air tanah dan air minum beberapa desa terpaksa harus membeli.

Untuk itu mari belajar ikhlas dari Mbah Sadiman yang sukses mengubah Bukit Gendol, Dusun Sobo Desa Geneng Jawa Tengah yang dulunya gersang akibat kebakaran hutan tahun 1964. Akibat kebakaran tersebut terjadi kerusakan hutan yang berdampak kepada krisis air dan gizi sehingga banyak masyarakat meninggal akibat hal tersebut. Namun berkat kegigihan Mbah Sadiman yang memulai menanam tahun 1995-1996 kini bukit tersebut sudah kembali asri dan sumber air melimpah.

Dari cerita heroic tersebut sudah saatnya masyarakat bima kembali melakukan kebiasaan menanam dengan pendekatan pendidikan lingkungan. Artinya setiap anak-anak di semua tingkatan sekolah untuk diasah kemampuan menanam dan peduli terhadap lingkungan. Sehingga mereka melihat alam ini tidak hanya sebagai objek untuk dieksploitasi melainkan sama memiliki nilai moral (biosentris).

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button