Mataram (NTBSatu) – Generasi muda di NTB jangan hanya ‘dimanfaatkan’ sebagai pemilih politik saja. Tapi juga diajak berpartisipasi dalam berbagai kebijakan, termasuk pada persoalan lingkungan.
Hal itu diungkap Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, Amry Nuryadin saat memperingati hari bumi beberapa waktu lalu.
“Dalam (berbagai) kebijakan, generasi muda jarang dilibatkan. Bahkan dalam aturan, tidak ada yang mengajak anak muda ikut membahas (persoalan lingkungan),” katanya.
Padahal, bagaimana situasi dan kondisi lingkungan Indonesia, khususnya di NTB, akan disaksikan langsung oleh para pemuda. “Di momentum hari bumi kali ini, ini yang kita suarakan,” ujarnya.
Menurut Amry, pada musim pemilihan kepala daerah (Pilkada) ini, Amry mengajak para kontestan agar turut serta mengajak generasi muda dalam penentuan kebijakan terkait lingkungan. Apalagi jumlah pemilih muda di sekitaran angka 42-46 persen dari jumlah pemilih.
Mereka yang tampil di pentas Pilkada harus memperhatikan ekosistem dan keberlangsungan lingkungan ke depan.
“Karena itu anak muda tidak hanya diajak (soal politik), tapi harus muncul dalam persoalan lingkungan,” jelas Amry.
Jika berbicara soal gerakan, lanjutnya, sebenarnya sudah banyak yang dikerjakan anak muda. Hanya saja, menurut pandangan Walhi NTB, tidak adanya dukungan dari pihak pemerintah menjadi kendala kurang maksimalnya penuntasan terkait persoalan lingkungan.
Menurut Amry, dengan fasilitas yang dimiliki, pemerintah seharusnya bisa berbuat banyak. Khususnya pada konteks kebijakan.
“Tapi kenyataannya, pada konteks kebijakan, investasi dan pembangunan, tidak berpihak pada lingkungan,” tegasnya.
Untuk kasus di NTB, Amry mengambil contoh Mandalika Lombok Tengah dan beberapa pertambangan. Pemerintah diingatkan harus berpikir bagaimana mewujudkan ekosistem dan ekologi yang berkeadilan pada generasi.
“Pemilih muda jangan hanya jadi pemilih politik. Tapi diajak membahas dan mempertimbangkan soal lingkungan. Analis dampak lingkungan, analisis terkait ekologi. Karena ke depan, kalau salah langkah, korbannya generasi ke depan,” bebernya.
Berita Terkini:
- Sasar 11 Titik Lokasi di Lombok Tengah, Tim BKC Ilegal Tertibkan 3.660 Batang Rokok dan 2,1 Kilogram TIS
- Tingkatkan Kualitas Layanan Publik, Diskominfo Mataram Terbitkan 740 TTE Tersertifikasi
- APERSI NTB Dukung Program 3 Juta Rumah Presiden Prabowo
- Gugatan Rp105 Miliar Ditolak, M. Fihiruddin Ajukan Banding
- Skuad Garuda Bungkam Arab Saudi dengan Skor 2-0
Sebelumnya, Amry Nuryadin menguraikan berbagai persoalan lingkungan di Indonesia, terutama di wilayah NTB. Salah satunya soal sampah.
Setiap tahunnya, jutaan ton sampah plastik mencemari lautan. Dan ini tidak hanya mengancam kehidupan laut, tetapi juga menyebabkan berbagai masalah lingkungan, termasuk pencemaran air, kerusakan ekosistem. “Bahkan masuknya plastik ke dalam rantai makanan manusia,” jelasnya.
Selain sampah, Walhi juga menyoroti persolan lingkungan hidup secara komperhensif. Salah satunya masalah kerusakan hutan.
Hasil investigasi pihaknya, kerusakan hutan di NTB mencapi 60 persen atau sekitar 650,000 Hektare dari 1,1 juta hektare kawasan hutan.
Kerusakan ekosistem dan ekologi ini disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah aktivitas pertambangan, seperti PT AMNT yang berada di kawasan hutan (IPPKH) seluas 7000 Ha.
Kemudian pertambangan PT STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu seluas 19.260 hektar.
Di Lombok Timur ada aktivitas perusahaan PT AMG. Penambangan pasir besi dipesisir Dedalpak itu seluas 1.348 Ha.
“Secara umum, jumlah IUP di NTB sebanyak 355 dengan total luasan sebesar 136.642 Ha, belum lagi maraknya pertambangan illegal di Pulau Lombok dan Sumbawa,” jelas Amry.
Sementara pada sektor pariwisata, di kawasan pesisir salah satunya di KEK Mandalika seluas 1.250 Ha. Kemudian rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Lombok Utara seluas 7.030 Hektar, juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir.
“Dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Hutan Rinjani seluas 500 Ha,” ungkapnya.
Belum lagi masalah pemenuhan hak setiap masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Hal ini, menurut Amry, menjadi titik berat pembangunan dari segala sektor.
Namun, niat pencanangan net zero emission tahun 2050 oleh Pemprov NTB berbanding terbalik dengan maraknya penggunaan batu bara dalam pemenuhan pasokan listrik di NTB.
Karena secara faktual, NTB menggunakan 7 PLTU batu bara sebagai pemenuhan pasokan listrik.
Catatan Walhi, satu PLTU saja dengan kapasitas 3×25 MW di Desa Taman Ayu Lombok Barat mengoperasikan tiga unit pembangkit dengan kebutuhan batubara sebanyak 500 ton per hari per unit.
“Tentunya akan berdampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan apabila 7 PLTU berbahan baku batu bara tidak di pensiunkan di NTB,” bebernya.
Ancaman kerusakan lingkungan, baik itu kawasan hutan dan pesisir, menjadi ancaman bagi masyarakat NTB. Tentu karena operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar.
Selain itu, persoalan yang disorot Walhi NTB kaitan dengan tata kelola sampah. Hal ini disebutnya sebagai polemik utama provinsi dua pulau ini.
Misalnya, TPA Kebon Kongok di Desa Suka Makmur, Lombok Barat, hingga saat ini sudah melebihi kapasitas, sehingga mengganggu kenyamanan warga.
Diketahui, TPA Kebon Kongok beroperasi sejak 1993 dengan luas sekitar 13 hektar. Bebannya ideal 991.800 meter kubik.
Tepat tahun 2021, jumlah sampah yang tertampung telah mencapai batas ideal yang telah ditentukan. Meski kelebihan kapasitas sejak 2021, namun TPA ini masih tetap menjadi lokasi pembuangan sampah Kota Mataram, dan Lombok Barat hingga sekarang, yang per harinya mencapai sekitar 300 sampai 400 ton sampah.
“Belum adanya penggantian TPA yang baru, kini sejumlah sampah meluber ke kali, dan rencana untuk memperluas wilayah TPA ke Desa Taman Ayu mendapatkan penolakan dari warga,” tegas Amry.
Peningkatan jumlah sampah yang terjadi tidak hanya meninggalkan polemik di TPA, tapi berdampak serius pada rusaknya ekosistem hingga masuknya plastik pada rantai maknan manusia. Ini ditunjukan dengan adanya hasil investigas yang menemukan fakta, bahwa sungai di Kota Mataram tercemar micro plastik.
“Investigasi dilakukan dengan mengambil sampel air pada 5 lokasi di Kali Ning, Kokoq Jangkuk dan Sungai Meninting dan rata-rata sungai tersebut mengandung 290 Partikel Mikroplastik dalam 100 liter air,” tutupnya. (KHN)