Mataram (NTBSatu) – Kawasan hutan dan pesisir di NTB banyak dialihfungsikan menjadi kawasan pembangunan dan investasi. Namun, sampai hari ini pembangunan tersebut belum berdampak signifikan terhadap ekonomi masyarakat sekitarnya.
Contohnya, pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Meninting di Lombok Barat. Proyek itu dibangun di kawasan hutan, yang kemudian diubah fungsinya untuk membangun bendungan. Alih-alih berhasil, masyarakat sekitar malah terdampak longsor imbas galian proyek yang terlalu dalam.
Sementara pada bagian pesisir, di balik megahnya pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, nelayan sekitar menjadi terbatas ruang tangkap ikannya hingga menyebabkan terdegradasinya kawasan mangrove dan bentang alam berubah. Sehingga ketika hujan berintensitas tinggi turun, masyarakat sering kali khawatir akan terjadi bencana.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, Amri Nuryadi, S.H., mengatakan, maraknya alih fungsi lahan terutama di kawasan pesisir dan hutan memberikan kontribusi besar terjadinya perubahan iklim di NTB.
Bahkan, berdasarkan catatan Walhi NTB pada 2023 lalu, perubahan iklim yang terjadi di NTB sudah berdampak serius. Sebab, sumber ekonomi di wilayah yang dikelola masyarakat pada kawasan hutan maupun pesisir ikut terdampak.
“Hampir seluruhnya, akibat alih fungsi lahan di kawasan hutan dan pesisir, sehingga menyebabkan perubahan iklim dan mengakibatkan bencana,” ungkap Amri kepada NTBSatu, Jumat, 12 Januari 2024.
Baca Juga: Melihat Surga Bawah Laut Gili Bidara Lombok Timur yang Mirip Film Finding Nemo
Pihaknya telah mendata sebanyak 67 persen kawasan hutan di NTB mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan.
“Baik itu karena illegal logging, aktivitas pertambangan, pun juga alih fungsi kawasan hutan, seperti pencanangan menjadi swasembada jagung. Semuanya berpengaruh sangat besar terjadinya perubahan iklim,” jelasnya.
Peristiwa banjir yang terjadi serentak di wilayah Bima, Dompu, Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat pada tahun lalu, lanjut Amri, juga disebabkan adanya aktivitas alih fungsi kawasan hutan.
“Dilakukan oleh yang tidak berizin maupun yang berizin. Artinya, mau skala besar atau kecil, yang namanya merusak tetap merusak. Apalagi di kawasan hutan, yang dampaknya sangat bisa dirasakan,” katanya.
Walhi NTB pun mempertanyakan komitmen pemerintah daerah di NTB untuk melakukan mitigasi perubahan iklim.
“Contohnya di wilayah Mandalika, mitigasi bencana seperti apa yang telah dicanangkan oleh pemerintah? Bukit-bukitnya sudah dibelah-belah, wilayah serapannya sudah hilang menjadi akses jalan. Sementara soal tata kelola lingkungannya, tidak dibenahi secara memadai. Sehingga tidak heran ketika seringkali musim hujan, beberapa tempat pasti terjadi banjir,” tegas Amri.
Baca Juga: Pj Wali Kota Bima akan Dievaluasi Mendagri Senin Depan