Pihaknya menempuh praperadilan karena menemukan sejumlah kejanggalan. Diantaranya, terkait penerbitan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) tanggal 8 Juni 2023 yang diterima dari Kejari Lombok Tengah.
Sedangkan sprint penyidikan pertama pada 24 Mei 2022.
Menurutnya, SPDP diberikan kepada seseorang sebelum menyandang status tersangka. Karena administrasi itulah dirinya mengajukan praperadilan. “Masalah administrasi saja,” ucap Gilang.
Selain itu, sambung Gilang, dirinya mengklaim SPDP yang diterimanya dari Kejari Lombok Tengah berbeda. Yakni, SPDP pertama terkait tindak pidana korupsi, sedangkan yang terakhir soal penyimpangan pada proyek jalan TWA Gunung Tunak.
Baca Juga:
- Gubernur NTB Nilai Satgas PPKS di Ponpes tak Urgen, Aktivis Anak: Justru Itu yang Belum Ada
- PPATK Sebut Korupsi dan Narkotika Jadi Kejahatan Tertinggi Tindak Pidana Pencucian Uang
- Sidang Perdana Gugatan Mobil Esemka dan Ijazah Digelar Besok, Jokowi Bakal ke Vatikan?
- Hakim Jatuhkan Vonis Dua Terdakwa Korupsi KUR BSI Petani Porang
“Yang pertama dan terakhir berbeda,” katanya.
Gilang menjelaskan, ketika kasus tersebut naik ke tahap penyidikan, saat sprint dik-nya keluar, tersangka wajib menerima SPDP. Namun, FS mengaku tidak menerimanya. FS hanya menerima surat panggilan sebagai saksi.
Hal itu dibuktikan sprint dik keluar pada tanggal 24 Mei tahun 2022. Sementara pihaknya menerima SPDP pada 8 Juni 2023.