Oleh : Ni Putu Virgi Eka Ayu Rasta (Ketua Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia NTB)
Selamat hari lahir Pancasila. Sudah 78 tahun hingga hari ini Pancasila sebagai Ideologi negara menjadi pedoman untuk masyarakat Indonesia sebagai pedoman dalam berkehidupan, berbangsa dan bernegara. Banyak gejolak yang terjadi mengenai masalah agama tapi Indonesia masih tetap utuh dan berdampingan satu sama lain dengan harmonis.
Disadari maupun tidak, sila pertama sudah mendarah daging dalam kehidupan beragama bangsa Indonesia. Secara umum dari sila tersebut dapat disimpulkan bahwa berbagai kepercayaan di negara kita berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa atau bersifat monotheisme.
Indonesia, khususnya Nusa Tenggara Barat merupakan daerah yang sarat akan budaya dengan beragam suku, etnis dan agama. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mencatat jumlah penduduk Nusa Tenggara Barat (NTB) ada 5,43 juta jiwa pada akhir 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,23 juta jiwa (96,83%) beragama Islam, sebanyak 130,72 ribu (2,42%) memeluk agama Hindu, sebanyak 16,91 ribu (0,31%) beragama Buddha, sebanyak 13,55 ribu jiwa (0,25%) beragama Kristen, sebanyak 9,93 ribu (0,18%) beragama Katolik dan sebanyak 40 penduduk NTB tercatat beragama Konghucu. Sementara, penduduk NTB yang menganut aliran kepercayaan sebanyak 58 jiwa.
Dengan keberagaman budaya tersebut maka perlu memupuk nilai-nilai Pancasila dengan moderasi beragama yang memiliki makna persatuan, yang mana setiap perbedaan yang ada adalah persatuan itu sendiri. Keberagaman bukan hambatan untuk bersatu, dan berdampingan satu sama lain adalah keharmonisan itu sendiri dalam bermasyarakat. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasar 29 Ayat 1 dan 2 yang berbunyi (1), “Setiap Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. (2) “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.
Namun, Kota Mataram yang merupakan ibukota dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk sebagai urutan kelima sebagai kota intoleran versi Setara Institute dalam laporan Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2022. Kota Mataram mendapatkan skor terendah bersama Sembilan kota lainnya di Indonesia.
Ini merupakan sebuah tantangan bagi seluruh masyarakat Kota Mataram untuk mengerahkan seluruh upaya untuk mengaplikasikan dari nilai-nilai sila pertama itu sendiri. Tak bisa dipungkiri dengan kemajuan pariwisata di Nusa Tenggara Barat saat ini di samping meningkatnya pendapatan daerah tentu banyak juga muncul ideologi dari luar yang akan berbahaya untuk budaya daerah. Kota Mataram sendiri dari sisi tata letak merupakan kota layak huni, dan salah satunya akses kemudahan dalam menjangkau tempat ibadah. Di daerah Cakranegara 3 tempat ibadah berdampingan, masjid, gereja dan pura. Belum lama ini FKUB NTB mengadakan kegiatan Pawai Takbiran dengan tokoh lintas agama ikut memeriahkan kegiatan tersebut. Hal ini tentu menjadi upaya untuk terus meningkatkan toleransi dan meningkatkan nilai-nilai moderasi beragama.
Namun yang menjadi catatan penting adalah setiap warga Kota Mataram harus juga berupaya bukan hanya pemerintah. Media sosial saat ini memegang kendali dan menjadi zona paling menjanjikan dalam bidang penyebaran informasi. Jika tidak digunakan dengan baik, bisa saja hal ini berubah destruktif. Sangat banyak oknum-oknum di media sosial yang menyebarkan budaya yang bertentangan dengan nilai moral masyarakat Indonesia.
Bukan saja di Kota Mataram, tetapi NTB pun akan terancam kehilangan moral, perasaan saling mengasihi dan menghormati satu sama lain sebagai manusia yang bermartabat. Banyak giat antara umat beragama saling bantu membantu setiap kegiatan keagamaan harus terus ditingkatkan dan dipertahankan. Sesuai dengan nilai sila pertama yang sangat erat dengan pengaplikasiannya sebagai bangsa yang moderat. Seperti ungkapan Gus Dur, “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak tanya apa agamamu”
Pancasila adalah ilmu yang bukan sekedar subjek mati, sudah seharusnya Pancasila bergerak dalam setiap sendi cabang ilmu termasuk budaya. Sehingga menjadi peran kita bersama mempertahankan setiap nilai toleransi, budaya, adat dan tradisi daerah serta menyaring setiap ideologi luar yang masuk seiring dengan menjamurnya wisatawan ke NTB.