Mataram (NTB Satu) – Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus BBM diduga ilegal di Kecamatan Labuan Haji, Lombok Timur oleh Polda NTB dianggap tidak jelas.
Hal itu diungkapkan akademisi Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram), Syamsul Hidayat. “Alasannya tidak jelas. Perkara berkas bolak-balik tidak bisa dijadikan sebagai alasan,” kata Syamsul Hidayat saat ditemui ntbsatu.com, Rabu, 8 Maret 2023.
Syamsul menjelaskan, penghentian penyidikan yang dilakukan Polda NTB tidak sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Hal itu terlihat dari uraian Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 109 ayat 2.
“KUHAP menyebutkan bahwa penghentian penyidikan bisa dilakukan ketika tidak terdapat cukup bukti,” katanya.
Selain itu, lanjut Syamsul, penghentian penyidikan bisa dilakukan ketika peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana. Dan terakhir, penyidikan dihentikan demi hukum.
“Demi hukum artinya, misalnya tersangka meninggal dunia. Kemudian Ne Bis In Idem (diputuskan pengadilan, telah berkekuatan hukum dan tidak dapat diperiksa kembali). Selanjutnya waktu perkara telah selesai atau kedaluwarsa,” sebutnya.
Lebih jauh Syamsul mengatakan, SP3 kasus ini justru bertentangan dengan KUHAP. Padahal dalam kasus dugaan penggelapan BBM tersebut sejumlah saksi telah dijadikan tersangka.
Selain itu, Syamsul menilai alasan kasus dihentikan Polda karena Kejaksaan menolak pengajuan berkas sebanyak 3 kali. Sedangkan Kejaksaan menolak ajuan tersebut lantaran masih ada peran lain yang terlibat dan belum diseret.
“Seharusnya Polda mendalami dan membuat daftar pencarian orang terhadap peran lain yang belum diseret. Bukan malah kasusnya dihentikan,” tegasnya.
Syamsul juga menegaskan, surat perintah penghentian penyidikan ini mesti dicabut, dan proses penyidikan harus tetap dilakukan.
Sebelumnya, SP3 itu juga turut disoroti pakar hukum pidana Universitas Mataram (Unram), Joko Jumadi, SH., MH.
Menurutnya, pemberhentian kasus tersebut merupakan tindakan aneh yang dilakukan Polda NTB.
Jika dilihat dari kronologis kasus, sejumlah alat bukti yang sudah didapat seharusnya cukup menjadi alasan bahwa kasus ini tetap harus berjalan atau dilanjutkan.
Menurutnya, pihak penyidik Polda NTB seharusnya membuka ke publik terkait saran dan kekurangan dari berkas yang dikirim jaksa sebagai perbaikan.
Pada perkara ini, lanjut Joko, pihak Kejaksaan seharusnya turut bersuara dan mempertanyakan SP3 yang dikeluarkan Polda NTB. Apalagi Kejaksaan hanya meminta penyidik melakukan pendalaman lebih lanjut dan penambahan tersangka.
Joko menegaskan, jangan sampai dalam kasus ini seolah olah kesalahan ditimpakan ke kejaksaan. “Jangan sampai kasus ini menambah catatan buruk kepolisian yang saat ini terpuruk,” ucapnya.
Diberitakan sebelumnya, Polda NTB telah mengeluarkan SP3 terhadap kasus kapal BBM diduga ilegal di Lombok Timur pada 21 Februari 2023 lalu.
Perintah pemberhentian kasus yang terjadi di Perairan Pelabuhan Haji, Kecamatan Labuan Haji, Kabupaten Lombok Timur tersebut, tertuang dalam surat ketetapan Nomor: SK.Sidik/01/II/RES.1.9/2023/Dit Polaruid.
Alasannya, pemberhentian kasus tersebut lantaran dianggap tidak memiliki bukti yang cukup untuk dilanjutkan.
Penyidik sudah mengirimkan berkas perkara kepada JPU sebanyak empat tahapan. “Namun JPU menolak dengan alasan bahwa berkas perkara belum lengkap,” kata Plh Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Lalu Muhammad Iwan Mahardan.
Polda NTB menilai penghentian penyidikan perkara ratusan ton BBM diduga ilegal itu sudah berjalan sesuai udang-undang yang berlaku.
Sementara versi Kejaksaan Tinggi NTB sebelumnya, berkas ditolak karena masih ada peran orang lain yang belum diseret dalam kasus tersebut.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta penyidik Ditpolairud Polda NTB menyeret pemesan BBM sebagai tersangka, namun sampai tiga kali pengiriman tak kunjung dipenuhi.
Direktorat Polairud Polda NTB sebelumnya menghentikan penyidikan kasus dugaan tindak pidana minyak dan gas (Migas) pada dugaan BBM ilegal di Perairan Dermaga Labuan Haji, Lombok Timur yang menyeret tiga orang tersangka.
Padahal tiga orang sebelumnya telah ditetapkan tersangka. Ketiganya adalah JS selaku Manager Operasional, Am dan AW selaku nakhoda Kapal MT Harima. (KHN)