Mataram (NTB Satu) – Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Dr. Pius Lustrilanang secara terbuka mengkritisi upaya sejumlah pihak memperpanjang masa jabatan Presiden. Cara cara melanggengkan kekuasaan hanya terjadi masa orde baru ketika Soeharto menjabat selama 32 tahun. Baginya, itu jangan terulang pada era pascareformasi.
“Kembali ke masa lalu, bagi saya satu wacana berbahaya, apalagi digaungkan pejabat negara,” tegas Pius saat jadi keynote speaker bedah buku “Aldera” Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999. Bedah buku berlangsung di Gedung Dome Universitas Mataram dihadiri Rektor Unram, Prof. Bambang Hari Kusumo.
Cukup mengejutkan ketika Pius meminta operator menayangkan cover Majalah Tempo edisi Minggu 5 Februari 2022 dengan judul utama “Akrobat kedua tiga periode”, mengulik aktor di balik upaya perpanjangan jabatan Presiden yang dilakukan sejumlah politisi dan pejabat lingkar istana.
Aktivis pro demokrasi yang ikut turun aksi tahun 1998 ini meminta pembawa acara membaca seluruh isi tajuk, kemudian mengulang poin menyebut sindiran terhadap pejabat yang mendorong penundaan Pemilu.
Pius yang menjabat Anggota VI BPK RI ini, kembali merefleksi orde baru ketika mahasiswa tahun 1978 turun ke jalan untuk menentang Soeharto melanggengkan jabatan.
Sangat disayangkan Pius, pola pola gerakan orde baru justeru terulang pada fase akhir kekuasaan saat ini.
Melihat realitas itu, Anggota DPR RI 2009-2014 tersebut merasa jiwanya sebagai aktivis masih kuat, tidak ada yang berubah meski saat ini menjadi pejabat negara.
“Saya masih aktivis sampai sekarang. Jiwa saya tidak terima dan harus bersuara,” tegas Pius.
“Ibarat kapten kapal, saya kapten reformasi, aktivis 98 awaknya,” lanjut Pius.
Di hadapan ratusan mahasiswa Universitas Mataram yang sesaki ruang pertemuan itu, ia percaya gerakan mahasiswa masih ada. Sikap sikap idealisme mahasiswa masih tumbuh.
“Saya percaya gerakan mahasiswa. Setiap ada kebijakan seperti ini, mhasiswa mahasiswa harus suarakan ketidakpuasan,” pungkasnya. (HAK)