Mataram (NTB Satu) – Kelompok pemerhati tembakau yang berbasis di NTB, yaitu Masyarakat Tembakau Anti Rokok Ilegal (Matari) turut menyoroti pembangunan Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) di Lombok Timur, yang belakangan ini menuai polemik dengan masyarakat karena kurangnya sosialisasi sebelum proses pembangunan.
Tidak menunggu lama, Matari menyambangi Kantor Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB guna berembuk mencari solusi. Dalam pertemuan itu, pihak Matari mengaku sejalan dengan visi Distanbun NTB dalam pembangunan KIHT tersebut.
“Pembangunan KIHT berdasarkan kajian kami, memiliki tujuan mulia untuk mensejahterakan petani tembakau, kami setuju dan mendukung penuh pembangunan tersebut,” ujar Ketua Matari, Ripzy Abdul Latief, Rabu, 19 Oktober 2022.
Namun sebagai catatan, pihaknya meminta Distanbun NTB maupun pihak terkait untuk lebih gencar melakukan sosialisasi. Sosialisasi itu supaya tidak ada lagi hambatan dalam merealisasikan tujuan yang dirasa bermanfaat bagi masyarakat tersebut.
“Sosialisasikan manfaat dari pembangunan KIHT, agar masyarakat dapat memahami dengan baik pentingnya pembangunan tersebut,” imbuh Ripzy kepada NTB Satu.
Selain karena kurangnya sosialisasi, penolakan juga timbul karena dikhwatirkan sentra industri tersebut menimbulkan polusi yang berbahaya, sementara lokasi pembangunan KIHT di simpang empat Paok Motong adalah wilayah padat penduduk.
Secara sederhana, KIHT adalah tempat pemusatan kegiatan industri hasil tembakau yang dilengkapi oleh berbagai prasarana dan fasilitas penunjang, yang diperuntukkan bagi pengusaha pabrik dengan skala industri kecil dan menengah. Dengan kata lain, untuk memajukan UMKM hasil tembakau dalam hal produksi sekaligus pemasaran.
Selain itu, maraknya peredaran rokok ilegal juga tak luput dari perhatian Matari. Mereka mendesak agar Pemerintah NTB lebih tegas dalam memerangi praktik yang dapat merugikan negara tersebut.
“Maka kami meminta kepada pemerintah dalam hal ini Distanbun NTB bersama institusi lainnya lebih aktif memerangi rokok ilegal,” pungkasnya.
Sosialisasi Tentang Pidana Rokok Ilegal
Pengedar ataupun penjual rokok illegal termasuk melakukan pelanggaran yang dapat berpotensi sebagai pelanggaran pidana. Sanksi untuk pelanggaran tersebut mengacu pada Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai.
Ancaman pidana ini diatur dalam pasal 54 dan pasal 56 Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut :
Dalam Pasal 54 “Setiap orang yang menawarkan , menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya, sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1)
Maka dipidana dengan pidana Penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang harus dibayar”.
Dalam Pasal 56 “Setiap orang yang menimbun, memiliki, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang kena cukai yang diketahuinya atau patut harus diduganya berasal dari tindak pidana berdasarkan Undang-undang ini.
Maka dipidana paling singkat 1 (satu) tahun paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Bagaimana mengenal rokok ilegal?
Ciri-ciri rokok ilegal dengan metode sederhana, yaitu pengamatan secara langsung. Cirinya ialah rokok tanpa pita cukai, rokok dengan pita cukai bekas, rokok dengan pita cukai palsu, dan rokok dengan pita cukai salah peruntukan.
Maka siapapun yang sedang menjalankan bisnis rokok dengan cukai illegal, maka disarankan hentikan dari sekarang. Hal ini gencar disosialisasikan stakeholders yang terlibat, seperti Bea Cukai, Sat Pol PP Provinsi NTB, Bappeda NTB, serta Pemda Kabupaten dan Kota. (RZK)