Mataram (NTB Satu) – Belakangan ini, cukup marak pendaki mengalami kecelakaan di Gunung Rinjani. Kurang dari sebulan terakhir, setidaknya sudah terjadi tiga kecelakaan yang membutuhkan proses evakuasi.
Kecelakaan terakhir menimpa seorang pria berkebangsaan Potugal bernama Boaz Bar Anan, yang jatuh dari ketinggian 150 meter di lokasi puncak Rinjani, dan diperkirakan meninggal dunia.
Sebelumnya, pada 6 Agustus 2022, seorang pendaki mengalami kaki terkilir di Jalur Pendakian Torean, sehingga ia tidak bisa lagi melanjutkan pendakian. Kemudian tim evakuasi dari BTNGR sebanyak tujuh orang terjun melakukan evakuasi, dan korban pun berhasil diturunkan dengan selamat menuju Puskesmas Senaru.
Lalu sehari setelahnya, kecelakaan kembali terjadi. Kali ini menimpa WNA yang hendak turun dari Pelawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak. Menurut guide yang membawa pendaki tersebut, bahwa kliennya terpleset jatuh di sekitar KM 10, yang menyebabkan pendaki tersebut mengalami sakit di bagian lutut dan tidak bisa berjalan. Lalu esoknya, 12 anggota tim dari BTNGR melakukan evakuasi. Setelah dua hari proses evakuasi, korban berhasil diturunkan ke Pintu Pendakian Sembalun dengan kondisi selamat.
Menurut pengamat pariwisata yang juga Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Mataram, Dr. Putu Gede, M.Par., pengelola kawasan Rinjani dalam hal ini Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) perlu melakukan audit protokol Cleanliness (kebersihan), Health (kesehatan), Safety (keamanan), dan Environment Sustainability (kelestarian lingkungan) atau biasa disingkat CHSE.
“Gunung Rinjani itu kan treknya ekstrem, jadi perlu dilakukan audit CHSE supaya lebih aman dan nyaman, baik kepada internal maupun eksternal, tapi kita sering menyepelekan audit itu,” ujar Putu saat dihubungi pada Minggu, 21 Agustus 2022.
Selain itu, lanjut Putu, perlu diperketat proses pengecekan terhadap pendaki yang hendak naik ke Gunung Rinjani.
“Misalnya di pintu masuk, kondisi kesehatan pendaki perlu dicek, supaya kita tau kecelakaannya karena faktor trek atau memang kondisi kesehatan si pendaki. Perlu diedukasi juga sebelum naik bahwa mereka akan menuju ketinggian sekian, dan berpengaruh kepada jumlah oksigen dan kondisi tubuh mereka, dan lain-lain,” jelas Putu.
Namun menurut Kepala BTNGR, Dedy Asriady saat dihubungi via telpon, Standard Operating Procedure atau SOP yang diterapkan BTGR sudah cukup ketat untuk menciptakan pendakian yang aman dan nyaman.
“SOP kita sudah cukup ketat, kita termasuk yang terbaik di Indonesia yang berani menerapkan black list. Di pintu masuk juga kita cek persiapan yang dibawa pendaki, apabila logistik yang mereka bawa tidak sepadan dengan lama menginap, maka kita suruh tambah (logistik). Itulah salah satu contohnya,” tutur Dedy.
Kerapnya terjadi kecelakaan di Rinjani kadang ditimbulkan dari keteledoran dari si pendaki itu sendiri. Hal itu disampaikan seorang Trekking Organizer, Saiful. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk pihak pengelola melakukan perbaikan, terutama dalam infrastruktur keamanan bagi pendaki.
“Menurut informasi yang saya dapatkan, kecelakaan yang kemarin karena memang kelalaian si pendaki, di mana dia meninggalkan rombongannya lebih dahulu menuju puncak. Tapi memang perlu ada perbaikan dari pengelola, terutama di puncak. Kalau di bawah kan kita lihat banyak papan peringatan, seperti bahaya longsor dan lain-lain, nah di puncak ini tidak ada sama sekali,” terang Saiful.
Namun adanya kecelakaan beruntun dalam sebulan terakhir, diakui Dedy bukan sebuah anomali. Karena setiap tahun memang selalu terjadi kecelakaan, dan jumlah kecelakaan tahun ini tidak sebanyak tahun sebelumnya.
Menurut data BTNGR, jumlah kecelakaan di Gunung Rinjani pada tahun 2018 sebanyak 29 kali, 2019 sejumlah 6 kali, 2020 sebanyak 19 kali, 2021 sebanyak 33 kali dan selama tahun 2022 sebanyak 18 kali. (RZK)