Mataram (NTB Satu) – Aktivis perlindungan anak menyarankan agar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) NTB melakukan kolaborasi dalam menekan angka kasus perkawinan usia anak. Kolaborasi tersebut, dapat ditempuh dengan menciptakan kurikulum tentang bahaya perkawinan usia anak hingga sistem reproduksi.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Kota Mataram, Joko Jumadi menyarankan kepada pemerintah daerah untuk bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan perkawinan usia anak di NTB. Oleh karena itu, Joko mengharapkan agar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (DIkbud) NTB serta Dinas Kesehatan (Dikes) NTB melakukan kerja sama dalam pembuatan kurikulum mengenai bahaya perkawinan usia anak dan sistem reproduksi.
Saran tersebut dikeluarkan setelah terjadi kasus terbaru perkawinan usia anak di Lombok Tengah. Perkawinan tersebut terjadi antara anak di Desa Muncan dan Desa Langko. Sedang ada upaya pemisahan atau penundaan sampai mereka dewasa, lantaran usia mereka 14 dan 15 tahun.
Menanggapi saran tersebut, Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr. H. Lalu Hamzi Fiki, MM.,MARS., mengatakan, kasus perkawinan usia anak sangat tinggi di NTB. Hal tersebut, dapat memicu kenaikan angka stunting di NTB. Oleh karena itu, Dinas Kesehatan NTB membuka peluang bekerja sama untuk menekan praktik perkawinan usia anak di NTB.
“Saat ini, kami tengah berupaya untuk menggiatkan gerakan promotif dan preventif melalui program Posyandu Keluarga,” ujar Hamzi kepada NTB Satu, Rabu, 8 Juni 2022.
Apabila hal-hal menyangkut Posyandu Keluarga dimasukkan ke dalam kurikulum yang telah diatur oleh Dinas Dikbud, maka hal tersebut diperkirakan mampu menekan perkawinan usia anak. Sebab, mencegah lebih baik daripada mengobati. Untuk menekan angka stunting, Dinas Kesehatan tidak bergerak sendiri.
“Kami butuh dukungan dan tindakan kolaboratif dari sejumlah pihak. Usulan dari pemerhati anak tersebut sangat bagus sekali, kami akan tampung,” papar Hamzi.
Dinas Kesehatan NTB akan segera membuka diskusi dengan Dinas Dikbud NTB guna membuka peluang kerja sama.
Sementara itu, Kepala Dinas Dikbud NTB, Dr. H. Aidy Furqan, M.Pd., menyambut baik peluang kolaborasi tersebut. Namun, rekomendasi membuat kurikulum baru tidak mudah ditempuh. Sebab, penerapan kurikulum tertentu mesti melewati banyak penilaian.
“Sebenarnya, materi pembelajaran tentang reproduksi sudah kami masukkan sejak empat tahun lalu dalam kurikulum. Sifatnya sudah integral dan termaktub ke dalam mata pelajaran biologi,” ungkap Aidy, ditemui NTB Satu, Selasa, 7 Juni 2022.
Menurut Aidy, materi tentang bahaya perkawinan usia anak biarlah masuk ke dalam mata pelajaran tertentu dan tidak dijadikan kurikulum. Sebab, tindakan tersebut dapat membuat siswa kebingungan dalam menuruti kurikulum yang mesti diterapkan.
“Bahaya perkawinan usia anak cukup menjadi konten di mata pelajaran tertentu,” tutur Aidy.
Aidy menyebutkan, materi pembelajaran bahaya perkawinan usia anak memang telah diterapkan. Namun, angka perkawinan usia anak tetap tinggi. Sebab, sektor pendidikan memang tidak dapat berjalan sendiri dalam menumpas masalah perkawinan usia anak.
“Keluarga dan lingkungan juga harus turut serta berperan dalam menyelesaikan permasalahan perkawinan usia anak di NTB,” saran Aidy.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB sangat membuka diri untuk bekerja sama untuk menekan perkawinan usia anak. (GSR)