Mataram (NTB Satu) – Anak-anak yang mengkonsumsi rokok bukan lagi fenomena yang langka di sekitar masyarakat. Namun kabar baiknya, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, persentase penduduk usia 15 – 19 tahun yang merokok di Indonesia (2019 – 2021) turun menjadi 9,98% pada 2021. Ini merupakan persentase yang pertama kali menyentuh angka di bawah 10% dalam tiga tahun terakhir.
Faktor penjualan rokok yang masih amat bebas serta iklan rokok yang bermunculan di Indonesia semakin memudahkan para remaja mendapatkan rokok, tak terkecuali Kota Mataram. Langkah Kota Mataram menjadi kota layak anak (KLA) sepertinya menempuh jalan terjal. Sejumlah kriteria belum terpenuhi. Salah satunya, Kota Mataram yang belum bebas dari iklan promosi sponsor rokok.
Meskipun terdapat larangan beserta imbauan pembelian rokok bagi anak di bawah usia 18 tahun, namun banyak pihak menilai hal tersebut belum cukup masif, sehingga tetap saja masih banyak anak-anak hingga remaja yang merokok.
Menyambut Kota Mataram yang tak kunjung menjadi Kota Layak Anak, Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) NTB, Lalu Yulhaidir M.Psi, mengatakan, kegagalan Kota Mataram dalam meraih status Kota Layak Anak, hanya karena iklan rokok, patut disayangkan.
“Patut kita sayangkan kalau kemudian kegagalan kita mencapai status Kota Layak Anak hanya karena iklan rokok,” ungkap Yulhaidir, dihubungi langsung ntbsatu.com, Kamis, 17 Maret 2022.
Kemudian, Yulhaidir berujar tentang empat hal yang mampu dipotret soal bagaimana rokok mempengaruhi anak.
Pertama, intensitas keterpaparan dari iklan rokok, sangat jelas berdampak pada peningkatan perilaku merokok pada anak. Jenis-jenis iklan, tentu sangat banyak. Mulai dari iklan di internet, billboard, televisi dan lainnya. Bahkan Yulhaidir menyebut orang tua kerap menjelma pengiklan yang secara langsung dilihat, kemudian dicontoh oleh anak.
“Di beberapa literatur disebutkan, (merokok) karena dampak dari iklan. Lalu, jenis-jenis iklan itu juga banyak. Kemudian, iklan yang terpapar langsung dari orang tua dan keluarga di rumah,” terang Yulhaidir.
Kedua, Yulhaidir masuk pada soal bagaimana pengiklan memasukkan citraan visual dan auditif ke dalam pelbagai iklan rokok, yang membuat anak merasa sangat cocok, karena aneka modelitas belajar anak, terhubung dengan iklan tersebut.
“Visual itu lebih kuat menancap ke anak-anak. Sehingga, anak-anak merasa cocok dengan iklan itu, apalagi aplikasi-aplikasi belajar sekarang sudah online,” kata Yulhaidir.
Ketiga, ialah soal siapa bintang iklannya. Tubuh atletis dan menarik dari berbagai bintang iklan yang tampil di produk rokok itu mampu mengubah struktur kognitif pada anak. Sehingga, persepsi anak-anak bakal direkonstruksi bahwa siapapun yang merokok, adalah orang yang keren.
“Walaupun kemudian rokok dibilang tidak menyehatkan. Tapi, kan, bintang iklannya ganteng-ganteng serta cantik-cantik. Itu bisa mengubah struktur kognitif anak. Sehingga kemudian aktivitas merokok itu keren,” ujarnya.
Keempat, ialah soal isu yang diangkat dalam iklan rokok. Yulhaidir mengatakan, isu dalam iklan rokok, tampak sangat humanis dan peduli sosial. Dua isu tersebut, merupakan tema-tema yang sangat positif serta dekat dengan anak serta remaja.
“Tema-tema dalam iklan rokok itu sangat humanis. Misalnya, lucu, humanis, kemudian kompak, akrab, karib, menolong, membantu, serta sosial. Itu adalah tema-tema yang positif, yang sangat dekat dengan anak dan remaja,” tutur Yulhaidir.
Banyak strategi yang dilakukan oleh berbagai perusahaan rokok untuk mendistraksi cara berpikir seseorang, termasuk anak-anak. Seperti, aktor atau aktris dalam iklan rokok, ditampilkan sangat sehat dan bugar. Sedangkan, ahli kesehatan berpendapat bahwa rokok sangatlah tidak menyehatkan. Hal tersebut, kemudian membuat distraksi terjadi pada anak sehingga menimbulkan gejala disonansi kognitif atau gejala kebingungan.
Di lapangan, betapa masyarakat mengetahui, bahwa anak-anak sangat mudah dalam mengakses rokok. Ditanya perihal bagaimana cara agar penekanan pada anak supaya tak mudah dalam mengakses rokok, Yulhaidir menyebut hal tersebut sangat susah. Sebab, anak-anak masih melihat orang tua beserta guru di sekolah mereka yang merokok serta mengakses rokok dengan sangat mudah.
“Anak-anak digempur dari berbagai arah. Mulai dari iklan-iklan rokok, hingga ke orang-orang terdekat mereka yang merokok. Kalau saja orang tua tetap memperingati anak-anak jangan merokok lantaran berbahaya, sementara orang tua sendiri tak kunjung berhenti merokok, maka jangan pernah berharap agar anak-anak tidak merasa penasaran terhadap rokok,” jelas pria yang juga pendiri Komunitas Parenting (KREN) Lombok ini.
Menjauhkan anak dari berbagai gempuran iklan rokok, bukanlah tugas hanya semata-mata dari pemerintah. Seluruh pihak mesti terlibat, mulai dari orang tua, pihak sekolah, hingga ke pedagang rokok.
Yulhaidir beserta organisasi peduli anak lainnya mendorong revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Peraturan pemerintah ini belum memuat pelarangan menjual rokok eceran, tidak ada larangan iklan rokok dalam bentuk terselubung maupun terang-terangan, belum ada pelarangan sponsor rokok, termasuk di internet, belum ada peringatan larangan merokok di ruang terbuka, dan penegakan hukum yang masih lemah.
Ditanya perihal, adakah Kota Mataram mulai membangun narasi agar melarang seluruh jenis iklan rokok, Yulhaidir menjawab belum menerima kabar apapun.
“Belum, saya belum menerima kabar apapun. Semoga, pemerintah Kota Mataram, tergerak untuk segera memantapkan diri menjadi kota layak anak dengan segala prosedurnya,” tutup Yulhaidir.
Pengaruh iklan rokok tidak hanya berdampak kepada anak-anak di hari ini. Anak-anak yang terpapar rokok, masih tinggi jumlahnya. Dampak rokok pada kondisi anak-anak di hari ini tidak tunggal. Merokok menurutnya menjadi pembuka pintu-pintu yang lain seperti, penyalahgunaan narkoba dan kenakalan prilaku anak. Kedua hal tersebut, tidak selesai hanya di fase anak-anak belaka. Namun, cenderung akan berlanjut hingga ke usia dewasa. (GSR)