Mataram (NTBSatu) – Hiruk pikuk perpolitikan di Ibukota Provinsi NTB Kota Mataram dinilai tidak sedinamis dari daerah-daerah lainnya. Bahkan, Superioritas dari Walikota Mataram Mohan Roliskana diprediksi akan melawan benda mati atau Peti Kosong.
Pengamat Politik Universitas Mataram Dr Ihsan Hamid mengatakan, sebuah hal yang kontradiktif terjadi di Ibukota Provinsi yang merupakan pusat perpolitikan di NTB.
Tetapi, aktor atau partai politik seakan membiarkan satu kekuatan politik dominan yang menguasai Ibukota.
“Ada pragmatisme dari partai politik yang cenderung mematikan kaderisasinya,” terangnya pada Kamis, 27 Juni 2024.
Hingar bingar persaingan para kandidat masih jauh dari harapan masyarakat. Wajah kandidat yang akan tampil hanya memoles figur lama yang cenderung dikooptasi oleh partai politik untuk menggapai pragmatisme politik.
“Pertanggungjawaban moral partai sudah hilang,” ujarnya.
Sebenarnya, ada figur-figur yang siap melawan dominasi dari Mohan Roliskana, seperti Ketua DPC Gerindra Kota Mataram Abdurrahman, Kader PKS TGH Achmad Mukhlis, juga Putu Selly. Ada juga Sekertaris DPRD Kota Mataram Lalu Arya Dharma.
“Problemnya, mereka belum terlalu dianggap oleh parpol. Bahkan parpol hari ini telah gagal juga melahirkan calon pemimpin,” ujarnya.
Pengamat Kebijakan Publik Dr Adhar Hakim pun turut merespon stagnasi yang terjadi di Kota Mataram. Kepala Ombudsman NTB dua periode itu melihat sejauh ini ada keangkuhan politik yang dipertontonkan oleh aktor politik di Kota Mataram.
“Pelaku politik di Kota ini hanya orang yang sama, tidak ada hal yang konstruktif dalam membangun wajah kota. Baik secara politik maupun dalam aspek lain,” terangnya.
Meski ia mengacungkan jempol pada kepemimpinan Mohan, tetapi Adhar ingin ada kompetitor penantang nantinya. Agar tarung ide dan gagasan bisa lebih hidup dan banyak pilihan.
“Ada yang berbeda sehingga masyarakat memiliki pilihan untuk menentukan nasibnya lima tahun kedepan,” ujarnya.
Pada Pilkada ke depan, Ia berharap ada figur-figur yang berpikir out of the box, yang tidak terpaku pada birokrasi yang kaku.
“Seperti sosok ibu Tri Risma Harini, bahkan beliau tanda tangan di jalan bukan di kantor. Itulah yang kita ingin berpikir di luar pakem birokrasi,” tandasnya.