Sumbawa Barat

Jerat Pidana Memungut HP dan Penerapan “Restorative Justice” di KSB Bisa Jadi Pelajaran

Mataram (ntb satu) – Menemukan barang di jalan yang tidak diketahui siapa pemiliknya, mengambil barang tersebut kemudian menguasainya bisa menjadi persoalan hukum, bahkan bisa terancam dengan hukuman penjara. Terlebih jika di kemudian hari ada pihak atau seseorang yang menggugat atau melaporkanya ke polisi. Karena ternyata, persoalan menemukan barang di jalan itu diatur dalam hukum perdata dan hukum pidana.

Seperti kasus baru-baru ini terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Heri alias Jeri ditetapkan menjadi tersangka setelah sebelumnya didakwa melakukan tindak pidana karena mengambil dan atau menguasai barang yang seharusnya bukan menjadi miliknya.

Kasus tersebut bahkan sampai tahap II untuk dilimpahkan ke penuntut umum dalam hal ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumbawa Barat. Tersangka dalam hal ini bahkan disangkakan Pasal 362 KUHP Jo Pasal 372 KUHP tentang pencurian.

Meski demikian kasus yang dialami Heri, saat ini sudah diterapkan Restoratif Justice (RJ) atau penyelesaian perkara di luar Pengadilan dengan cara didamaikan oleh pihak Kejari Sumbawa Barat dengan melibatkan pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait.

Lalu seperti apa kronologis kejadiannya?

Arif Widodo Pohan. Foto : Humas Kejari Sumbawa Barat

ntbsatu.com mendapat keterangan tertulis dari pihak kepolisian yang disampaikan ke Kejari KSB. Dalam keterangan tersebut, korban Seno Apriyono pada Kamis 29 Juli 2021 melintasi jalan Plam Lagi Desa Batu Putih, Kecamatan Taliwang KSB. Saat ia turun dari kendaraan dengan maksud menunggu rekannya yang lain. Korban kemudian mencari HP yang ia taruh di kantong sebelah kiri kendaraan, namun hp tersebut tidak ditemukan.

Setelah sempat berupaya mencari, HP tersebut tidak juga ditemukan. Selanjutnya korban melaporkan peristiwa kehilangan ke pihak kepolisian, peristiwa itu terjadi pada bulan Juli 2021.

Diterangkan Kejari KSB melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) Arif Widodo Pohan, dari laporan korban, pihak kepolisian selanjutnya melakukan pengembangan. Ditemukan HP korban yang hilang itu, dipungut dan dibawa oleh Heri yang saat itu ditetapkan Polisi sebagai tersangka. Bahkan pihak kepolisian melakukan penahanan terhadap Heri selama satu minggu.

“Sebelum diterapkannya Restoratif Justice, terdakwa Heri sebelumnya dilakukan penahanan selama 1 Minggu di Mapolres KSB” terangnya kepada NTBSatu.com 18 Februari 2022.

Baru ditahap II di bulan November lanjut Arif, dilakukan upaya Restorative Justice, disamping sebelumnya kedua pihak juga sudah melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

Heri Mengambil HP dengan Niat menguasainya Secara Pribadi

Mengutip laporan polisi yang disampaikan ke Kejari Sumbawa Barat, Heri dalam hal ini memang berniat untuk menguasai barang (HP) untuk digunakan secara pribadi.

“Karena memang di jalan tempat ia memungut HP bisa dikatakan sepi, sehingga pelaku saat itu tidak ada niatan untuk mencari bahkan mengembalikan ke pemiliknya,” ujar Arif, dikutip dari keterangan pelaku.

Faktor lain lanjutnya, saat itu tersangka sedang tidak memiliki alat komunikasi sehingga handphone yang ia pungut di jalan tersebut ia pakai untuk keperluan sehari hari.

Alasan Kejari Sumbawa Barat Terapkan Restorative Justice

Kepala Kejari KSB Suseno, SH, MH, melalui Kasi Intel I Nengah Ardika, SH, MH, dihubungi NTBSatu menyampaikan bahwa Kejaksaan KSB adalah bagian dari kesungguhan Institusi Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung (Perja) No 15 Tahun 2020 tentang Restorative Justice.

Dengan menimbang bahwa pasal yang dilanggar terdakwa lanjutnya, ancaman hukumannya tidak melebihi 5 Tahun. Restorative Justice ini dilakukan telah sesuai prosedur dan langsung disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) RI. Sebab terdakwa dalam kasus ini telah mengakui perbuatannya, serta meminta maaf kepada korban.

Selain itu, korban sudah memaafkan terdakwa yang dituangkan ke dalam surat perdamaian antara terdakwa Heri dengan korban Seno, sehingga sudah memenuhi syarat sesuai Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020, sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan Restoratif Justice kepada terdakwa.

“Terdakwa merupakan seorang kepala rumah tangga, punya 3 anak dan anak yang paling kecil berusia kurang lebih 1 tahun juga istri yang bekerja sebagai TKW di luar negeri,” jelas Nengah.

Dengan beberapa pertimbangan itu lanjut Nengah, Kejari KSB melakukan Restorative Justice. Terkait adanya Restorative Justice tersebut, masyarakat Desa Batu Putih yang diwakili oleh Kepala Desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama mengapresiasi putusan hukum ini.

Proses Restorative Justice ini sambung dia dilakukan setelah penyidik kepolisian menyerahkan terdakwa dan barang bukti (tahap II) pada hari Kamis tanggal 10 Februari 2022. Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini langsung melaksanakan perdamaian kembali yang disaksikan oleh kepolisian, pendamping korban, pendamping tersangka, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan kepala desa.

“Dari proses perdamaian tersebut, korban sudah memaafkan tersangka, untuk itu Kejari KSB mendapat persetujuan Restorative Justice terhadap terdakwa Heri dari (JAMPIDUM) RI pada hari kamis tanggal 17 Oktober 2022,” tutupnya.

Pandangan Pengamat Hukum terkait penerapan Restorative Justice

Pengamat Hukum, Taufan SH, MH. Foto : Mugni Ilma

Pengamat Hukum Taufan SH, MH, ikut menanggapi permasalahan penerapan Restorative Justice Kejaksaan KSB. Ia mengatakan persoalan Restorative Justice di Indonesia merupakan konsep baru, karena yang diatur di Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (Kuhap) baru sebatas keadilan yang distributive dan retributive.

Restorative Justice yang saya tau baru diatur hanya di perlindungan anak, sedangkan di Pidana Umum (Pidum) belum diatur,” terangnya ke Ntbsatu.com 18 Februari 2022.

Namun lanjutnya, terkait Restorative Justice itu baru hanya ada aturan di tingkat kelembagaan, tertuang dalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) nomor 15 tahun 2020. Artinya ditingkat Pidum yang bukan anak, kekuatan hukumnya masih belum pasti, hanya mengacu pada Perja no 15 tahun 2020.

“Dalam ketentuan Perja itu Restorative Justice bisa menutup perkara demi kepentingan hukum,” imbuhnya.

Masih kata Taufan, di Pasal 3 ayat 2 terkait penyelesaian perkara ditingkat pengadilan, syaratnya sudah ada pemulihan. Artinya pelaku dalam hal ini sudah melakukan perbaikan seperti semula.

“Terkait dengan kasus yang di Sumbawa Barat, kalau pelaku sudah melakukan pemulihan keadaan seperti semula, berarti sudah masuk dalam Restorative Justice, selain itu penghentian kasus dalam hal ini juga mempertimbangkan subject,” tambahnya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, menurutnya telah terpenuhi syarat formil dan materiil dalam ketentuan Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1), dan Pasal 9 Ayat (5)Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative.

Apa itu Restorative Justice?

Restorative Justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Seperti dikatakan Pengamat Hukum Taufan sebelumnya, Restorative Justice baru diatur hanya di perlindungan anak.

Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa dalam pelaksanaan diversi harus adanya pendekatan restorative justice. Begitu juga dalam penyelesaian perkara tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak, dapat diselesaikan dengan jalur perdamaian.
Sementara dari kasus di KSB baru diatur hanya dalam peraturan kelembagaan dalam hal ini Peraturan Jaksa Agung no 15 tahun 2020, Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 5.

Bunyi dari Pasal tersebut adalah Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:
a.Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun; dan c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000.

Aturan Menemukan Barang Diatur dalam Hukum Perdata dan Pidana

Untuk itu jika menemukan barang di jalan yang tidak diketahui siapa pemiliknya, mengambil barang tersebut kemudian menguasainya, sebaiknya mengembalikan barang tersebut ke pemilik atau dengan melaporkannya ke pihak kepolisian.
Seperti dikutip dari Hukum Online, soal menemukan barang di jalan itu diatur dalam hukum perdata ataupun hukum pidana.

Sementara barang yang dimaksud di sini menurut Pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah benda bergerak, kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan. Benda tersebut misalnya uang, perhiasan emas, motor, mobil, handphone, dan sebagaianya yang tidak diketahui siapa pemiliknya.

Dari sisi hukum perdata, menurut Prof Subekti SH dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perdata, pengambilan suatu benda bergerak dari suatu tempat untuk memiliki benda tersebut mengakibatkan diperolehnya bezit atas benda tersebut.

Bezit adalah suatu keadaan lahir dimana seseorang menguasai benda itu seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.

Bezitter (orang yang menguasai benda) ada yang merupakan bezitter dengan iktikad baik dan bezitter dengan iktikad buruk.Akan tetapi, setiap orang dianggap memiliki iktikad baik sehingga iktikad buruk harus dibuktikan (Pasal 533 KUHPer).
Bezit atas suatu benda bergerak diperoleh dengan pengambilan barang tersebut dari tempatnya sehingga secara terang atau tegas dapat terlihat maksud untuk memiliki barang itu.

Berdasarkan Pasal 1977 ayat (1) KUHPer, mengenai benda-benda yang bergerak, orang yang menguasai benda tersebut dianggap sebagai pemilik benda tersebut.Tetapi, seseorang yang merasa kehilangan barang tersebut (dalam jangka waktu tiga tahun) dapat menuntut kembali barangnya yang hilang dari orang yang menguasai barang tersebut.

Orang yang menuntut kembali barang tersebut wajib memberikan penggantian kepada orang yang menguasai barang tersebut, jika orang yang menguasai ini membelinya dari tempat yang biasa digunakan untuk memperjualbelikan barang-barang tersebut (Pasal 582 KUHPer).

Hukum Pidana
Di sisi hukum pidana, tindakan mengambil barang yang ditemukan di tengah jalan untuk dimiliki, bisa dijerat Pasal 372 KUHP (tindak pidana penggelapan) atau Pasal 362 KUHP (tindak pidana pencurian).

Mengomentari Pasal 372 KUHP, R Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal mengatakan bahwa:

“Kadang-kadang sukar sekali untuk membedakan antara pencurian dan penggelapan, misalnya A menemukan uang di jalanan lalu diambilnya. Jika pada waktu mengambil itu sudah ada maksud (niat) untuk memiliki uang tersebut, maka peristiwa itu adalah pencurian.

Apabila pada waktu mengambil itu pikiran A adalah ‘uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi’ dan betul diserahkannya, maka A tidak berbuat suatu peristiwa pidana, akan tetapi jika sebelum sampai di kantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang itu dan dibelanjakan, maka A salah menggelapkan.”

Pendapat serupa dikemukakan SR Sianturi dalam buku Tindak Pidana di KUHP. Terkait Pasal 372 KUHP Sianturi mengatakan bahwa dalam hal menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, di suatu tempat umum, dan sebagainya, mengenai hal ini perlu dinilai hubungan kejiwaan antara seseorang itu dengan barang tersebut ketika dia menemukan barang tersebut, atau mengetahui barang yang tertinggal tersebut atau menyadari keterbawaan barang tersebut.

Kalau pada saat seketika itu dia mengatakan, ‘Oh, ini rezeki nomplok, menjadilah barang itu milikku’, maka dalam hal ini dipandang telah terjadi pengambilan (pemindahan kekuasaan) yang menjadi unsur tindakan utama dari Pasal 362 (pasal pencurian).

Tetapi jika pada saat itu ia mengatakan, ‘Ah, kasihan pemilik barang itu, nanti cari-cari dia. Pada kesempatan pertama saya harus mengembalikannya’, namun setelah beberapa hari berselang timbul keinginannya untuk memilikinya, maka yang terjadi adalah penggelapan. (MIL)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button