Hukrim

DPP KAI Soroti Implementasi KUHP-KUHAP Baru dan Perpol Jabatan Polri, Bisa Picu Masalah Lain

Mataram (NTBSatu) – Kongres Advokat Indonesia (KAI), menggelar kegiatan Pengangkatan Advokat dan Pelantikan Presidium DPC NTB di Kota Mataram, Sabtu, 27 November 2025.

Kegiatan tersebut sekaligus menjadi langkah awal pembahasan pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tujuannya, agar berjalan seimbang melalui penyeragaman pemahaman dan peningkatan keilmuan aparatur penegak hukum.

Kegiatan ini juga mendorong sinergi dengan pemerintah daerah dalam mendukung Program Pos Bantuan Hukum Desa/Kelurahan (Posbankumdes). Program tersebut merupakan inisiatif Kementerian Hukum di NTB.

“Kegiatan ini pertama kali kami laksanakan. Mulai dari pengangkatan, pelantikan, hingga seminar umum, fokus mempersiapkan advokat di NTB agar memiliki pemahaman seimbang. Termasuk pada kajian KUHAP baru beberapa bulan ke depan. Sinergis dengan pemerintah daerah pada peningkatan kapasitas paralegal desa, agar supremasi hukum tetap terjaga,” ujar Presidium Dewan Pengurus Wilayah (DPW) KAI NTB, Adv. Muchammad Alfan Tulus, SH., MH., kepada NTBSatu, Sabtu, 27 Desember 2025.

IKLAN

Sementara itu, Ketua Presidium Dewan Pengurus Pusat (DPP) KAI, Adv. Dr. Kp. H. Heru S. Notonegoro, S.H., M.H., CIL., CRA., menyoroti sejumlah substansi dalam kedua regulasi tersebut.

Ia menilai, KUHP dan KUHAP baru membawa kemajuan, khususnya dalam penguatan perlindungan hak asasi manusia. Meskipun begitu, masih menyisakan potensi persoalan dalam implementasinya di lapangan.

“Kami telah menyampaikan sekitar 80 poin pemikiran dalam penyusunan KUHAP dan dua kali diundang dalam pembahasan di Komisi III DPR RI. Meski tidak semuanya diterima, namun sebagian besar telah diakomodasi terutama terkait perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya.

Namun demikian, ia menilai sejumlah ketentuan dalam KUHP dan KUHAP baru, seperti mekanisme pemeriksaan singkat dengan hakim tunggal serta konsep kesepakatan antara terdakwa dan jaksa, berpotensi menimbulkan persoalan baru karena menempatkan kewenangan besar pada hakim.

“Sementara pengakuan hukum adat, khususnya di daerah seperti NTB dipertimbangkan dengan asas legalitas karena tidak tertulis terlebih berbeda-beda di setiap wilayah. Sehingga, berisiko menimbulkan ketidakseragaman penegakan hukum,” jelasnya.

Kritisi Aturan Rangkap Jabatan Polri

Selain itu, KAI turut mengkritisi Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri aktif di luar struktur organisasi.

Heru menilai, kebijakan ini menimbulkan perdebatan hukum karena dalam praktiknya aturan internal Polri seolah-olah menjadi bagian dari hukum acara pidana. Kemudian, mengikat pihak di luar institusi Polri, terutama advokat.

Ia menegaskan, Perpol tersebut pada prinsipnya hanya berlaku internal, namun implementasinya sering meluas hingga mempengaruhi proses beracara.

“Peraturan Kapolri seharusnya hanya berlaku di lingkungan internal. Jika peraturan internal bisa mengalahkan Undang-Undang, itu jelas bertentangan dengan tata urutan perundang-undangan,” tegasnya. (LMA/*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button