OpiniWARGA

Kecimol dan Kesasakan Kita: Menemukan Cermin Akhlak dan Budaya

(Sebuah Renungan tentang Seni, Adab, dan Jati Diri Orang Sasak)

Oleh : Dr. H. Ahsanul Khalik – Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial dan Kemasyarakatan

Beberapa waktu terakhir, suara tentang pelarangan Kecimol kembali bergema di berbagai sudut Lombok. Di tengah gegap gempita pesta rakyat dan acara pernikahan, Kecimol – musik kolaboratif yang menjadi kebanggaan masyarakat Sasak, kini kerap disalahpahami. Bukan karena denting alat musiknya, melainkan karena joget anco-anco yang sering menyertainya.

Joget yang semestinya menjadi ungkapan kegembiraan, kadang menjelma menjadi tontonan yang menggoda dan melanggar batas kepantasan.

Dari situlah lahir polemik: sebagian masyarakat menilai Kecimol telah keluar dari nilai-nilai budaya Sasak; sebagian lain justru merasa Kecimol hanyalah korban kesalahpahaman. Maka, perdebatan pun pecah, antara pelestarian budaya dan penegakan akhlak.

Tulisan ini hadir bukan untuk membela atau menyalahkan, melainkan untuk menemukan keseimbangan: bagaimana kita menempatkan Kecimol sebagai bagian dari “Kesasakan Kita,” cermin dari jati diri, kreativitas, dan akhlak masyarakat Sasak yang sebenarnya.

Kecimol, Joget Anco-Anco, dan Salah Arah Pemahaman

Yang sering menjadi sumber masalah bukanlah musik Kecimol itu sendiri, tetapi perilaku yang mengiringinya. Joget anco-anco, yang pada awalnya merupakan bentuk ekspresi spontan dalam suasana gembira, kini sering kehilangan kendali. Gerakan tubuh yang berlebihan, kedekatan fisik yang tak lagi beradab, dan sorakan penonton yang terlampau bebas, semua itu menggeser Kecimol dari panggung budaya menjadi panggung kontroversi.

Padahal, Kecimol bukanlah ajakan pada keburukan. Ia lahir sebagai musik rakyat, pembawa semangat gotong royong, penanda kegembiraan dalam acara masyarakat sasak, dan perekat sosial masyarakat. Kecimol adalah ruang kebersamaan di mana nada dan irama menyatukan hati-hati yang gembira.

Namun, mari juga kita bercermin dengan jujur.

Jika para pemusik dan pelaku Kecimol tidak menertibkan penampilan mereka; jika mereka membiarkan joget anco-anco terus berlangsung vulgar tanpa kendali; maka jangan salahkan bila kemudian masyarakat, tokoh agama, pemerintah, dan para pemerhati budaya mengambil langkah tegas.
Karena dalam budaya Sasak, kebebasan tanpa batas bukanlah kemerdekaan, melainkan kehilangan arah.

Sebagaimana pesan orang tua dahulu:

“Seni itu indah bila tahu malu, suara gendang akan hambar bila tak dijaga adabnya.”

Kecimol: Ciptaan dari Budi dan Daya Sasak

Menurut hasil penelitian dengan judul: “Kecimol: Seni Kolaborasi – Kajian Bentuk, Fungsi, dan Nilai di Lombok” yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bali tahun 2015, dengan wilayah kerjanya termasuk Nusa Tenggara, disebutkan Kecimol merupakan bentuk seni kolaborasi yang unik di Pulau Lombok. Penelitian ini menegaskan bahwa kesenian ini lahir dari tangan-tangan kreatif masyarakat Sasak, khususnya di Lombok Timur, yang memadukan alat musik tradisional seperti gendang beleq, gong, cempreng, rincik, dan suling, dengan alat musik modern seperti gitar, bass, dan drum.

Laporan penelitian tersebut menjelaskan:

“Kecimol merupakan hasil cipta rasa dan karsa masyarakat Sasak yang tumbuh dari kebutuhan sosial dan kegembiraan rakyat. Walau beradaptasi dengan instrumen modern, ia tetap mencerminkan identitas lokal yang kuat dan nilai-nilai kebersamaan masyarakat Lombok.” – (BPNB Bali, 2015).

Temuan itu membantah anggapan bahwa Kecimol bukan budaya Sasak. Sebaliknya, ia adalah bagian dari khazanah budaya musik Lombok, yang lahir dan berkembang di tengah keberadaan suku Sasak sebagai pelaku dan pewaris utamanya.

Budaya, sebagaimana diuraikan para antropolog, merupakan hasil budi dan daya manusia yang senantiasa berkembang. Kecimol adalah wujud dari daya cipta masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan zaman tanpa melepaskan akar. Maka, menolak Kecimol berarti menolak bukti hidup bahwa orang Sasak mampu berkreasi di antara tradisi dan modernitas.

Budaya yang Berubah, Nilai yang Tak Boleh Hilang

Orang Sasak memiliki falsafah hidup yang halus dan penuh adab:

“Aji krame, malu, dan sopan adalah pakaian orang Sasak.”

Nilai ini menjadi batas antara seni dan syahwat, antara ekspresi dan kesopanan. Kecimol boleh berubah dalam bentuk, namun tidak boleh kehilangan ruhnya: menghormati, menggembirakan, dan memperindah kehidupan.

Kita boleh menerima alat musik modern, tetapi tidak boleh menanggalkan etika. Kita boleh bergembira, tetapi tidak boleh menelanjangi kehormatan. Karena sejatinya, seni yang besar bukan hanya menggetarkan telinga, tetapi juga menyentuh nurani.

Yang Dilarang Bukan Kecimolnya, Tetapi Perilakunya

Ketika keresahan masyarakat muncul, yang perlu dilakukan bukanlah melarang Kecimol secara menyeluruh, melainkan menertibkan perilaku dan tata cara pementasannya.

Larangan harus diarahkan pada joget anco-anco yang berlebihan, bukan pada alat musiknya.

Pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh adat, dan pelaku seni perlu duduk satu meja, menulis pedoman bersama, bukan untuk membungkam seni, tetapi untuk memuliakannya.
Pedoman itu dapat mencakup:

  • Batas gerak tari dan etika panggung yang sesuai dengan nilai Sasak;
  • Pembagian peran antara musisi, penonton, dan panitia acara;
  • Pembinaan dan pelatihan bagi grup Kecimol agar memahami nilai budaya dan moral;
  • Pelibatan tokoh agama dan budaya dalam izin pertunjukan untuk memastikan keselarasan dengan norma lokal.

Dengan begitu, pelarangan tidak lagi menjadi vonis, tetapi menjadi bimbingan moral agar seni kembali ke jalan yang bermartabat.

Kecimol dan Cermin Kesasakan Kita

Kecimol bukan sekedar seni musik. Ia seharusnya adalah cermin Kesasakan Kita, cermin yang memperlihatkan siapa kita, seberapa dalam kita memahami akhlak, dan seberapa kuat kita menjaga budaya.

Dalam irama Kecimol, ada tawa, ada do’a, ada semangat, dan ada kejujuran rakyat. Tetapi jika kita biarkan cermin itu berdebu oleh perilaku tak beradab, maka yang tampak bukan lagi keindahan, melainkan kabur dan kekosongan.

Maka, mari kita bersihkan cermin itu bersama.
Para seniman, dengan tanggung jawab moralnya.
Pemerintah, dengan kebijakan yang bijak.
Tokoh agama, dengan nasihat yang lembut.
Dan masyarakat, dengan pemahaman yang terbuka.

Karena budaya tidak akan tegak tanpa adab, dan adab tidak akan hidup tanpa budaya.
Sebagaimana pesan orang tua Sasak:

“Belajarlah hidup dengan malu, dan berbudayalah dengan adab.”

Melarang Kecimol sama saja dengan menutup telinga terhadap suara rakyat sendiri. Yang perlu kita benahi bukan gendangnya, bukan sulingnya, tetapi cara kita memainkannya.

“Jika seni dimainkan dengan akhlak, ia menjadi peneduh.
Jika dimainkan tanpa adab, ia menjadi badai.”

Kecimol dan Kesasakan Kita adalah dua wajah dari satu jiwa. Keduanya lahir dari tanah yang sama, tanah yang diairi dengan malu, sopan, dan gotong royong. Maka jangan biarkan satu noda perilaku menutupi cahaya budaya yang begitu indah ini.

Kecimol tak perlu dilarang. Yang perlu dijaga adalah adab dalam irama, agar musik rakyat tetap menjadi lagu kehidupan, bukan sekedar suara yang nyaring, tapi gema yang menuntun.

Pesan Reflektif

Di tanah yang subur oleh malu dan sopan santun, Kecimol lahir sebagai suara rakyat, bukan riuh maksiat.
Ia menggema di antara sawah dan halaman, memanggil anak-anak desa menari dengan senyum yang jujur.

Tapi zaman berubah, dan bersama perubahan itu, ada yang lupa bahwa irama tanpa adab hanyalah kebisingan.

Maka, wahai orang Sasak, jagalah seni ini sebagaimana engkau menjaga nama keluargamu.

Jangan biarkan nada menjadi dosa, dan jangan biarkan budaya kehilangan maknanya.

Sebab, Kecimol adalah kita – cermin hati, gema akhlak, dan wajah budaya yang tak boleh pudar. (*)

Berita Terkait

Back to top button