
Oleh : Dr. H. Ahsanul Khalik – Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB Periode 2012-2017 & 2017-2022
Di usia delapan puluh tahun kemerdekaan, bangsa ini bukan sekedar menghitung panjang usia, melainkan menimbang dalam-dalam, apakah jiwa negeri kita makin dewasa, ataukah justru larut dalam pragmatisme yang kering dari nilai? Indonesia, negeri yang lahir atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, tak semestinya berjalan di atas panggung politik yang gersang dari ruh.
Politik kita harus kembali menemukan jiwanya, bukan sekedar teknokrasi, bukan sekedar hitung-hitungan kursi, melainkan politik yang bernurani, berketuhanan, dan membimbing manusia menuju kesempurnaan akhlak.
Dalam khazanah Islam, ada warisan yang disebut filsafat transendental bernama Politik Muta‘aliyah. Di sana, akal, wahyu, dan intuisi rokhani dipadukan menjadi jalan kebijaksanaan. Jika ia kita bawa ke ranah politik, lahirlah gagasan, politik yang tak hanya mengurus urusan duniawi, tetapi juga mengantarkan jiwa manusia kepada keadilan ilahiah. Politik sebagai amanah eksistensial, bukan sekedar panggung kuasa.
Lantas, apakah Indonesia asing terhadap gagasan ini? Tidak. Jejaknya sudah lama ditaburkan para ulama bangsa. K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa iman harus bertemu amal, dan amal harus melahirkan perubahan sosial.
K.H. Hasyim Asy’ari menegaskan hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah bagian dari iman, menyatukan nasionalisme dengan tauhid.
Di Nusa Tenggara Barat, TGKH. Mihammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan madrasah bukan semata ruang belajar, melainkan pusat pembentukan kader bangsa yang berilmu, beriman, dan beramal saleh. Mereka adalah teladan bahwa politik sejati bukan perebutan, tetapi pengabdian.
Maka, apa yang disebut “Indonesia Emas 2045” akan lahir bila kita menempuh jalan ini, menyatukan pembangunan jasmani dengan pembangunan rokhani. Jalan tol, bendungan, dan pabrik harus berdampingan dengan penanaman akhlak mulia, keadilan sosial, dan kesadaran spiritual. Ekonomi tidak boleh tumbuh tanpa pemerataan. Teknologi tidak boleh berkembang tanpa kearifan. Demokrasi tidak boleh berjalan tanpa kesucian nurani.
Politik Muta‘aliyah mengajarkan bahwa pemimpin bukan sekedar pintar mengatur, tetapi juga arif dalam rasa takut kepada Allah. Kekuasaan bukan hadiah, tetapi amanah. Keputusan bukan semata kalkulasi, tetapi do’a yang disertai kebijaksanaan. Inilah politik yang melampaui sekularisme kering, sekaligus menghindari populisme murahan.
Bangsa ini sedang berdiri di persimpangan sejarah. Kita bisa tetap berkutat dalam perebutan kepentingan, atau memilih naik kelas menuju politik bernurani.
Jika kita berani menapaki jalan Politik Muta‘aliyah, maka Indonesia Emas bukan sekedar slogan, melainkan cahaya yang menyinari dunia, bahwa negeri berpenduduk muslim terbesar ini mampu memimpin dengan adil, beradab, dan beriman.
Seperti kata bijak ulama: “Negara bukan hanya untuk memakmurkan bumi, tetapi untuk menyempurnakan manusia.” Maka, marilah kita dukung pemimpin bangsa hari ini dengan ketulusan hati, selama ia berjalan di koridor pengabdian. Sebab pemimpin yang tulus adalah Rahmat, dan bangsa yang meneguhkan Rahmat akan selamat. (*)