
Oleh: Dr. Iwan Harsono, SE., M.Ec. – Associate Profesor Ekonomi Universitas Mataram
Apakah Nusa Tenggara Barat (NTB) sedang menapaki fase baru menuju kemandirian ekonomi tanpa bergantung pada tambang? Pertanyaan ini mengemuka usai gelaran MotoGP Mandalika 2025 yang berlangsung pada 3–5 Oktober lalu.
Selama tiga hari berturut-turut saya menyaksikan langsung bagaimana denyut ekonomi bergetar kencang—hotel penuh, lalu lintas padat, dan senyum para pelaku usaha kecil tampak di setiap sudut jalan. Namun di balik gegap gempita itu, muncul pertanyaan penting: apakah pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan benar-benar berkelanjutan, atau sekadar euforia jangka pendek dari ekonomi berbasis event (event-driven economy)?
Arah Baru Ekonomi NTB
Dalam dua tahun terakhir, NTB menunjukkan gejala transisi ekonomi yang menarik. Sektor non-tambang kini menjadi motor pertumbuhan, menggantikan peran tambang yang selama ini dominan. Tahun 2023 pertumbuhan ekonomi NTB mencapai 4,89 persen, turun menjadi 3,87 persen pada 2024, namun melonjak lagi pada triwulan I 2025 menjadi 5,57 persen (year-on-year), bahkan menembus lebih dari 6 persen pada triwulan II.
Kenaikan ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata, perdagangan, dan jasa kembali menjadi penggerak utama. Berdasarkan proyeksi moderat, pertumbuhan non-tambang 2025 diperkirakan berada di kisaran 6,1–6,3 persen, melampaui dua tahun sebelumnya. Namun di sisi lain, distribusi manfaatnya belum sepenuhnya merata. Konsentrasi kegiatan ekonomi masih bertumpu di kawasan Lombok Tengah dan Selatan, sementara wilayah Sumbawa, Dompu dan Bima belum merasakan imbas signifikan.
Fenomena ini mengingatkan pada peringatan ekonom Gunnar Myrdal tentang “backwash effect”—yaitu kecenderungan pertumbuhan terpusat di satu wilayah yang justru menyedot sumber daya dari daerah lain. Artinya, keberhasilan Mandalika perlu diimbangi dengan strategi pemerataan pembangunan lintas wilayah agar tidak menimbulkan kesenjangan ekonomi baru di NTB.
MotoGP Mandalika: Motor Ekonomi Rakyat, tapi sampai di mana?
Gelaran MotoGP Mandalika 2025 memang menghadirkan gairah ekonomi yang luar biasa. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat dampak ekonomi langsung sebesar Rp4,8 triliun, dengan tingkat hunian hotel di kawasan Mandalika mencapai 100 persen dan rata-rata okupansi seluruh NTB menembus 93 persen. Ribuan tenaga kerja terserap, dan puluhan UMKM mencatat lonjakan penjualan.
Dari tribun penonton, mudah terlihat bagaimana ekonomi rakyat berputar: penjual air mineral, pedagang suvenir, hingga pengrajin tenun lokal kebanjiran pembeli. Fenomena ini membuktikan teori John Maynard Keynes tentang efek pengganda (multiplier effect)—bahwa peningkatan pengeluaran masyarakat akan menciptakan gelombang aktivitas ekonomi di berbagai sektor.
Namun, efek pengganda itu masih bersifat temporer. Data lapangan menunjukkan sebagian besar keuntungan besar masih dinikmati pelaku industri besar seperti perhotelan nasional, biro perjalanan, dan operator transportasi, sementara sebagian UMKM lokal belum masuk ke rantai pasok resmi event. Dengan demikian, efeknya terhadap income distribution masih terbatas.
Ke depan, tantangan utama bukan lagi bagaimana menarik wisatawan, tetapi bagaimana memastikan mereka membelanjakan uangnya pada produk dan jasa lokal. Di sinilah pentingnya desain kebijakan ekonomi yang berpihak pada pelaku usaha mikro dan komunitas lokal—mulai dari penataan kios, promosi digital, hingga penyediaan kredit berbunga rendah bagi pelaku usaha kecil.
Pelajaran dari Negara Tetangga
Jika dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, posisi Mandalika cukup membanggakan. MotoGP di Chang International Circuit (Buriram, Thailand) menghasilkan dampak ekonomi sekitar Rp2,2 triliun per tahun dengan 224 ribu penonton, sementara Sirkuit Sepang (Malaysia) menghasilkan nilai pengembalian ekonomi 3,5 kali lipat dari investasi pemerintah.
Namun kedua negara tersebut memiliki keunggulan dalam aspek keberlanjutan: kalender kegiatan pasca-event terjaga sepanjang tahun, dan fasilitas olahraga dimanfaatkan untuk kegiatan komunitas serta industri pariwisata olahraga (sports tourism).
Mandalika bisa belajar dari model itu. Saat ini infrastruktur Mandalika masih beroperasi secara musiman—hidup ketika MotoGP berlangsung, dan mati kembali setelahnya. Padahal, keberhasilan ekonomi jangka panjang bergantung pada kemampuan mengubah sirkuit menjadi multi-event destination, misalnya dengan menyelenggarakan festival budaya, ajang sepeda internasional, atau forum ekonomi kreatif tahunan.
Evaluasi dan Tantangan 2026
Tidak bisa dipungkiri, keberhasilan MotoGP Mandalika 2025 adalah hasil kerja kolektif antara masyarakat, pelaku usaha, pemerintah daerah di bawah kepemimpinan Dr. Lalu Muhamad Iqbal, serta dukungan kuat Pemerintah Pusat, ITDC, dan Dorna Sports selaku penyelenggara global.
Perhelatan MotoGP Pertamina Grand Prix of Indonesia 2025 di Sirkuit Mandalika bahkan sukses mencetak sejarah baru dengan kehadiran 140.324 penonton, meningkat 36,3 persen dalam tiga tahun terakhir.
Angka ini menjadi bukti bahwa antusiasme publik dan kepercayaan dunia terhadap Mandalika terus meningkat dari waktu ke waktu. Sinergi lintas pihak ini—mulai dari stabilitas pasokan listrik, kelancaran logistik, hingga partisipasi masyarakat lokal—menunjukkan kapasitas manajerial yang semakin matang dan kesiapan NTB menjadi tuan rumah ajang internasional yang berkelas.
Namun, tantangan struktural masih menanti. Pertama, aksesibilitas transportasi ke kawasan sirkuit masih menjadi persoalan, terutama kemacetan pada hari puncak. Kedua, biaya logistik dan harga akomodasi saat event melonjak signifikan, menimbulkan persepsi eksklusivitas yang berpotensi menyingkirkan wisatawan menengah ke bawah. Ketiga, ketergantungan fiskal terhadap dukungan pusat dan BUMN masih tinggi, padahal kemandirian daerah menuntut diversifikasi sumber pembiayaan.
Dalam kerangka teori Joseph Schumpeter, pembangunan sejati lahir dari inovasi dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan. Pemerintah daerah harus berani berinovasi dalam skema pembiayaan, seperti public-private partnership untuk pengelolaan fasilitas pariwisata, serta memperkuat creative economy ecosystem yang bisa bertahan di luar momentum MotoGP.
Menjaga Momentum Ekonomi Pasca Event
Euforia MotoGP harus diterjemahkan menjadi strategi pembangunan jangka menengah. Percepatan realisasi belanja publik produktif—terutama infrastruktur jalan wisata, pasar rakyat, dan sentra UMKM—akan menjadi kunci menjaga momentum pertumbuhan. Di sisi lain, hilirisasi sektor agro-maritim seperti jagung, sapi, dan rumput laut perlu dipacu untuk memperkuat fondasi ekonomi riil masyarakat pesisir.
Selain itu, digitalisasi UMKM menjadi prioritas mutlak. Produk-produk unggulan NTB harus mampu menembus pasar nasional dan global melalui platform daring. Untuk itu, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan komunitas perlu diwujudkan dalam bentuk task force percepatan ekonomi non-tambang yang bekerja lintas sektor.
Dari Mandalika untuk Indonesia Timur
MotoGP Mandalika 2025 telah membuktikan bahwa ekonomi NTB mampu bergerak maju tanpa terlalu bergantung pada tambang. Namun, keberlanjutan kemajuan itu tidak otomatis terjadi tanpa arah kebijakan yang jelas. Seperti diingatkan Paul Krugman, keunggulan ekonomi daerah tidak ditentukan oleh sumber daya yang dimiliki, melainkan oleh kemampuan memanfaatkan momentum dan membangun kolaborasi ekonomi yang saling menguntungkan.
MotoGP memberi NTB momentum tersebut. Kini, tugas kita adalah memastikan energi ekonomi itu tidak berhenti di garis finis. Tahun 2025 bisa disebut sebagai tahun pembuktian, tetapi 2026 harus menjadi tahun konsolidasi—tahun di mana NTB memperkuat fondasi ekonomi berbasis inovasi, pemerataan, dan kemandirian.
Mandalika tidak boleh berhenti sebagai sirkuit kebanggaan; ia harus menjadi laboratorium ekonomi rakyat, tempat lahirnya model pembangunan daerah yang inklusif dan berkelanjutan untuk Indonesia Timur. (*)