
Oleh: Sambirang Ahmadi – Ketua Komisi III DPRD NTB
Kebijakan Fiskal dan Relevansinya ke Daerah
Kebijakan fiskal adalah seni mengatur penerimaan dan belanja negara, dengan tujuan ganda: menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan. Dampaknya langsung terasa ke daerah melalui Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).
Dalam APBN 2025, alokasi TKDD mencapai Rp919,87 triliun, sekitar 25% dari total Belanja Negara Rp3.621,3 triliun. Pada tahun-tahun sebelumnya, porsi TKDD konsisten di kisaran 25–30%, menjadikannya salah satu komponen terbesar dalam APBN. Artinya, bagaimana pemerintah pusat mengelola TKDD akan langsung menentukan denyut fiskal di daerah.
Model Fiskal Sri Mulyani: Prudent dan Teruji
Sri Mulyani memegang teguh prinsip prudent: hati-hati, menjaga kredibilitas fiskal, dan memastikan defisit terkendali. Salah satu caranya adalah menempatkan dana pemerintah (SAL/SiLPA) di Bank Indonesia, sebagian melalui Term Deposit Facility (TDF).
Konsekuensinya:
– Aman dan steril. Uang pemerintah tidak langsung beredar di pasar, inflasi terjaga.
– Stabilitas fiskal terjaga. Investor global percaya dengan disiplin Indonesia.
– Tapi daerah sering terkunci. TKDD cair bertahap, belanja APBD tersendat, SiLPA menumpuk.
Contoh kasus di NTB: tahun 2023 tercatat SiLPA Rp822,44 miliar (provinsi dan 10 kab/kota), naik Rp427 miliar dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini lebih karena transfer pusat (seperti gaji PPPK) baru turun di akhir tahun, sehingga uang tidak sempat dibelanjakan.
Sri Mulyani jelas sudah teruji. Ia berhasil membawa Indonesia melewati krisis 2008 dan pandemi 2020. Namun, model ini cenderung menekan rem lebih lama ketimbang menginjak gas.
Model Fiskal Purbaya: Gas Pol Pro-Growth
Purbaya hadir dengan pendekatan berbeda. Ia memilih mengalirkan uang negara ke bank-bank Himbara ketimbang mendiamkannya di BI. Awal September 2025, ia sudah memindahkan Rp200 triliun dari kas pemerintah di BI (total saldo sekitar Rp425 triliun) ke bank-bank BUMN.
Dasarnya: PMK 44/2024, yang membolehkan pemerintah menaruh dana negara di bank umum dalam bentuk overnight, deposit on call, atau time deposit, dengan syarat dana bisa ditarik kapan saja.
Efeknya:
– Likuiditas nasional naik. Himbara punya cadangan lebih untuk ekspansi kredit.
– Tapi dampak langsung ke APBD kecil. Karena APBD sehari-hari dikelola melalui BPD, bukan Himbara.
– Potensi besar ada di BPD. Jika TKDD ditransit di BPD, ia langsung terkoneksi dengan kas daerah, bisa diputar jadi kredit UMKM, koperasi, dan proyek lokal.
Dengan kata lain, injeksi ke Himbara memperkuat sistem perbankan nasional, tapi tidak otomatis mempercepat belanja daerah. Yang lebih penting adalah memastikan TKDD tetap besar, tidak dipangkas, dan ditempatkan di BPD.
Dampak Nyata ke Daerah
Perbedaan pendekatan ini jelas:
– Era Sri Mulyani: daerah aman tapi lambat. Belanja molor, SiLPA menumpuk. Kasus di NTB, realisasi belanja modal 2024 baru 42% di triwulan III.
– Era Purbaya: dana pusat berpotensi bergerak lebih cepat. Tapi kalau tidak transit di BPD, korelasinya ke APBD tipis. Harapannya Purbaya juga memperkuat BPD melalui TKDD, agar daerah bisa langsung memutar likuiditas itu menjadi aktivitas ekonomi nyata.
Sri Mulyani vs Purbaya: Rem vs Gas
– Sri Mulyani: rem yang sudah teruji. Stabil, kredibel, tapi pertumbuhan daerah kadang tertahan.
– Purbaya: gas yang menjanjikan. Potensi pertumbuhan lebih kencang, tapi masih butuh pembuktian.
Satu sudah membuktikan diri di jalan berliku, satu baru mau coba akselerasi.
Harapan untuk Daerah
Sebagai Ketua Komisi Keuangan DPRD NTB, saya berharap arah kebijakan Menkeu Purbaya ini benar-benar memberi manfaat nyata bagi daerah, bukan sekadar memperbesar bank-bank nasional.
Pertama, TKDD jangan dipotong. Isu pemotongan TKDD 2026 sudah beredar. Jika benar, itu akan menjadi pukulan telak bagi daerah, karena belanja daerah masih sangat bergantung pada transfer pusat yang porsinya seperempat lebih dari APBN. Justru TKDD harus ditambah.
Kedua, hidupkan BPD. Jangan hanya Himbara yang mendapat suntikan likuiditas. TKDD yang transit di BPD akan langsung terkait dengan APBD, sehingga bisa dipakai untuk mendanai UMKM, koperasi, dan ekonomi lokal. Inilah cara agar pertumbuhan benar-benar dirasakan oleh masyarakat di kabupaten dan desa.
Kalau tidak, tambahan likuiditas Rp200 triliun hanya akan membuat Himbara makin gemuk, sementara BPD perannya semakin tertinggal.
Pertumbuhan ekonomi sejati bukan soal angka nasional semata. Ia harus terasa di jalan desa, sekolah, pondok pesantren, kampus, puskesmas, dan lapangan kerja lokal. Kalau pro-growth, maka growth itu harus inklusif dan nyata sampai ke daerah. (*)