Jangan Petik Buah Sebelum Matang, Renungan Menuju NTB Tanpa Pengantin Anak

Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik – Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial Kemasyarakatan
Di tanah tempat matahari terbit lebih awal, di mana gendang beleq dan merariq masih bersahut dengan suara azan dan do’a, kita sedang menghadapi sebuah krisis sunyi yang jarang disadari sebagai bencana, yaitu pernikahan usia anak. Bencana ini tidak datang membawa gempa atau banjir, tapi menggerogoti akar masa depan anak-anak kita perlahan, meninggalkan luka panjang dalam diam.
Praktik pernikahan usia anak masih menjadi kenyataan yang pahit. Data resmi dari BPS NTB tahun 2022 menunjukkan bahwa angka perempuan yang menikah pertama kali pada usia 10–19 tahun masih berada di atas 30 persen.
Kabupaten Lombok Timur, seperti tahun-tahun sebelumnya, masih menjadi lokus tertinggi. Bahkan pada 2023, berdasarkan laporan Dinas P3AP2KB NTB, tercatat lebih dari 4.000 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah cerita-cerita pilu yang tak pernah sempat tumbuh menjadi mimpi.
Di tengah kemiskinan yang membelit, tekanan budaya atau ketakutan akan aib sosial, dan cinta remaja yang belum matang, pernikahan usia anak sering dipilih bukan karena kesiapan, tetapi karena keterpaksaan dan ketidaktahuan. Padahal pada kenyataannya, pernikahan usia anak adalah pintu masuk bagi gelombang baru kemiskinan, putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan kematian ibu muda.
Anak-anak perempuan yang belum selesai tumbuh, dipaksa menjadi ibu, anak-anak laki-laki yang masih bermain gasing dan gawai, dipaksa menjadi kepala rumah tangga. Mereka jadi aktor di panggung dewasa sebelum naskah hidup mereka matang.
Islam dan Keseimbangan Hukum, Mencegah Mudarat Lebih Utama daripada Mengejar Manfaat
Dalam khazanah hukum Islam, pernikahan usia anak memang dianggap sah selama memenuhi syarat dan rukun. Namun, sah bukan berarti maslahat, dan maslahat bukan sekadar formalitas, melainkan mencakup keselamatan jiwa, akal, dan masa depan. Di sinilah kaidah fiqh “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih” menjadi pemandu, menolak kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat.
Sejumlah ulama klasik dan kontemporer seperti Ibnu Syubrumah, Imam Ibnul Qayyim, Syekh Ali Jum’ah, hingga Prof. Quraish Shihab telah mengingatkan bahwa pernikahan anak di bawah umur, apalagi yang belum baligh, bertentangan dengan tujuan luhur pernikahan dalam Islam. Imam Abu Hanifah bahkan membuka ruang bagi anak yang dinikahkan untuk membatalkan pernikahannya setelah baligh (khiyar al-bulugh), sebagai bentuk perlindungan hak dan kemerdekaan dirinya.
Dalam tulisan ini Pendapat Ulama Mazhab Syafi’i tentang pernikahan usia anak cukup penting untuk dibahas karena Mazhab ini adalah mazhab mayoritas di Indonesia, termasuk di NTB. Secara umum, dalam Mazhab Syafi’i, pernikahan anak yang belum baligh dianggap sah secara hukum fikih apabila dilakukan oleh wali yang sah (terutama wali mujbir, seperti ayah kandung), namun terdapat ketentuan-ketentuan ketat dan catatan penting yang tidak boleh diabaikan, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin (Juz 5, hlm. 340), “Boleh bagi seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang masih kecil, dan itu telah menjadi ijma’ para ulama.”
Namun, sahnya pernikahan ini bukan berarti boleh langsung dilakukan hubungan suami istri, sebab jika anak belum mampu secara fisik, maka jima’ dilarang karena dapat membahayakan jiwa.
Imam Al-Syairazi dalam Al-Muhadzdzab (Juz 2, hlm. 60) menjelaskan, “Jika anak perempuan belum mampu jima’, maka suaminya tidak boleh menyetubuhinya hingga ia mampu.”
Pandangan ini menunjukkan bahwa meskipun pernikahan sah secara fikih, perlindungan terhadap jiwa dan kesehatan tetap menjadi prioritas, sehingga dalam konteks kekinian, dengan bukti nyata mudarat kesehatan, pendidikan, dan sosial, pencegahan pernikahan anak lebih sejalan dengan prinsip maqashid syariah.
Majelis Ulama Indonesia juga menyatakan bahwa pernikahan anak dapat menjadi haram jika menimbulkan mudarat fisik, mental, atau sosial. Islam mengedepankan rahmah dan maslahah bukan sekadar pengesahan hubungan, tapi penciptaan rumah tangga yang saling menopang, mendidik, dan menjaga.
Syariat bukan hanya soal apa yang boleh atau tidak, tapi tentang menghadirkan kebaikan dan mencegah kerusakan. Maka pernikahan usia anak, yang nyata menimbulkan luka dalam tubuh umat, harus dihentikan. Sebab Islam tidak sekedar membolehkan, tapi juga membimbing. Dan membiarkan anak-anak kita menikah sebelum waktunya, sama halnya dengan memetik buah hijau yang belum ranum, bukan hanya tak nikmat, tapi bisa pahit dan menyesakkan.
“Syariat bukan jaring untuk menjerat, tapi pelita yang memberi arah. Maka lindungilah anak-anak kita dengan cahaya ilmu, bukan dengan bayang-bayang tradisi yang kehilangan jiwa”.
Meluruskan Pemahaman atas Pernikahan Nabi dengan Aisyah
Seringkali pernikahan usia anak disandarkan pada dalil agama, bahkan diseret-seret ke nama suci Nabi Muhammad SAW dan Sayyidah Aisyah. Padahal, para ulama besar telah mengingatkan bahwa tidak semua yang dilakukan Nabi boleh serta-merta ditiru (ittiba’), karena sebagian merupakan ketentuan khusus (khushushiyyah) yang hanya berlaku bagi Rasulullah SAW sebagai manusia yang diberi tanggung jawab kenabian.
Menurut Imam Al-Suyuthi, pernikahan Nabi dengan Aisyah termasuk dalam perkara khushushiyyah—suatu keistimewaan yang tidak berlaku umum bagi umat Islam. Hal serupa ditegaskan oleh Syekh Ali Jum’ah, mantan Mufti Agung Mesir, bahwa menikahkan anak dengan dalih meniru Nabi adalah bentuk pemahaman yang dangkal, karena Nabi menikah dalam konteks sosial budaya Arab saat itu, bukan sebagai contoh hukum yang mutlak. Sayyidah Aisyah, menurut sejumlah sejarawan, telah memiliki kematangan intelektual dan kondisi sosial yang sangat berbeda dari anak-anak pada masa kini.
Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah bahkan menyebut bahwa usia Aisyah ketika menikah bisa diperdebatkan, karena beberapa riwayat lain menunjukkan bahwa Aisyah mungkin telah berusia lebih dari sembilan tahun saat hidup bersama Nabi. Ini menunjukkan bahwa usia Aisyah bukanlah fondasi tunggal yang bisa dijadikan dalil hukum, apalagi untuk dilekatkan ke dalam kondisi sosial masyarakat kita hari ini yang penuh kompleksitas dan risiko kemudaratan.
Dalam hal pernikahan, tujuan utama syariat adalah menghadirkan ketenangan, kasih sayang, dan rahmat (sakinah, mawaddah, warahmah), sesuatu yang tidak mungkin terwujud bila pasangan belum matang secara usia, akal, dan jiwa. Maka meniru pernikahan Nabi dengan Aisyah secara tekstual tanpa mempertimbangkan maqashid dan konteks adalah bentuk penyalahgunaan sejarah keagamaan.
“Di sinilah Tradisi agama tidak untuk dijadikan tameng atas praktik yang merugikan, melainkan cahaya untuk menyelamatkan generasi.”
Jadi sangat jelas bahwa, Kaidah fiqh “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih” – Mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan, harus menjadi rujukan utama. Pernikahan usia anak, dalam konteks kekinian, telah nyata menimbulkan kemudaratan, gangguan kesehatan reproduksi, trauma psikologis, keturunan yang tumbuh dalam keluarga yang tidak siap, hingga lahirnya kemiskinan struktural. Dalam kondisi seperti ini, pernikahan anak bukan hanya tidak maslahat, tetapi haram karena mendatangkan mudarat.
Hukum Negara: Tidak Ada Ruang untuk Eksploitasi Anak
Negara melalui UU No. 16 Tahun 2019 telah mengatur batas usia minimal perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Meski ada ruang dispensasi, namun pengadilan seharusnya menjadikan perlindungan anak sebagai pertimbangan utama. Sementara UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU TPKS No. 12 Tahun 2022 semakin menegaskan bahwa memaksa anak menikah termasuk dalam kategori kekerasan atau eksploitasi.
Sayangnya, dalam praktik, dispensasi mudah dikeluarkan. Bahkan banyak pernikahan usia anak yang tidak tercatat di KUA, tetapi tetap dibiarkan. Ini adalah bentuk kelalaian kolektif. Negara, masyarakat, dan tokoh agama harus memperkuat barisan untuk menutup celah ini.
Adat Sasak, Sumbawa, Dompu, dan Bima,Tidak Pernah Membenarkan Eksploitasi Anak
Di NTB, adat sering kali menjadi alasan pembenaran. Merariq dalam tradisi Sasak misalnya, sering disalahgunakan sebagai justifikasi pernikahan usia anak.
Berikut adalah penjelasan khusus mengenai adat Sasak, Sumbawa, Dompu, dan Bima yang sejatinya tidak membenarkan pernikahan usia anak, tetapi justru menjunjung tinggi perlindungan terhadap martabat dan kematangan pribadi seseorang sebelum menikah, karenanya adat Lokal NTB, tidak ada melegitimasi untuk menikahkan anak.
Adat Sasak (Lombok): Merariq Harus Disertai Kematangan. Merariq (kawin lari) dalam adat Sasak adalah sistem budaya pernikahan yang telah berlangsung turun-temurun. Namun perlu dipahami, merariq bukan berarti legitimasi untuk menikahkan anak di bawah umur.
Dalam awiq-awiq (hukum adat tertulis), secara substansi ada prinsip bahwa, Pernikahan hanya boleh dilakukan jika kedua belah pihak telah dewasa dan siap memikul tanggung jawab, tidak boleh ada unsur paksaan atau tipuan dalam proses merariq, apalagi pada anak di bawah umur, dan ada denda adat bagi keluarga yang melakukan merariq tanpa persetujuan pihak perempuan (baca: belum aqil-baligh).
Kita ambil contoh : Awiq-Awiq Bayan, Awiq-Awiq Suralaga, dan beberapa awiq- awiq lainnya mengandung aturan bahwa usia dan kesiapan mental menjadi syarat utama dalam merariq yang sah secara adat.
Bukan kah Prinsip Sasak: “Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah.”
Artinya, adat tidak boleh bertentangan dengan syariat. Jika pernikahan anak dilarang dalam Islam karena madharat, maka adat Sasak sejatinya juga tidak membenarkannya.
Adat Samawa (Sumbawa). Dalam masyarakat Sumbawa, dikenal adagium adat, “Tausandi sara, tauk sia tau lalu,” artinya orang yang benar, tahu adat dan tahu hukum.
Adat Samawa sangat menjunjung tinggi kematangan usia dalam pernikahan, musyawarah antara keluarga besar dan pemenuhan syarat sosial dan tanggung jawab laki-laki sebelum menikahi perempuan.
Bahkan dalam tradisi muri (lamaran adat), pihak laki-laki harus membuktikan kemampuan ekonomi dan kedewasaan sosial, dan tidak boleh sembarang membawa anak perempuan tanpa restu orang tua. Jika terjadi pelanggaran, keluarga bisa dikenai sanksi adat dan sosial. Adat Samawa tidak menganggap sah perkawinan anak yang dilakukan sembunyi-sembunyi atau di luar mekanisme adat, termasuk nikah usia anak karena dianggap merusak nama baik keluarga.
Adat Dompu, Menjaga Martabat dan Nama Baik Keluarga. Dompu memiliki budaya adat yang sangat kuat, terutama dalam hal penjagaan martabat keluarga perempuan. Dalam praktiknya, Midang (pergaulan remaja) diawasi ketat oleh keluarga dan masyarakat, pernikahan tidak boleh dilakukan secara sembarangan, apalagi jika usia perempuan belum matang.
Seorang anak perempuan yang belum aqil-baligh yang dibawa lari oleh lelaki akan menjadi aib bagi keluarga lelaki itu sendiri.
Dalam tataran adat, pernikahan anak dianggap melanggar norma sosial, dan bisa berdampak pada sanksi moral dari komunitas Dompu, termasuk penolakan status sosial dan sanksi dari pemangku adat.
Adat Bima (Mbojo), “Maja Labo Dahu” sebagai pengendali sosial, dengan nilai luhur yang memiliki makna “Malu dan Takut (kepada Tuhan)” dan nilai ini menjadi kompas moral masyarakat Bima. Dalam adat Bima, Menikahkan anak di bawah umur dianggap tindakan memalukan dan tidak bertanggung jawab.
Proses nonti (lamaran adat) dan pena paja (pengukuhan pernikahan) mensyaratkan bahwa pasangan telah matang usia dan mental.
Jika menikahkan anak tanpa kesiapan, orang tua bisa kehilangan harga diri di mata adat, dan tidak dihormati dalam lingkungan komunitas.
Nilai “labo dahu” (takut melanggar norma Tuhan dan adat) memperkuat bahwa setiap tindakan dalam masyarakat harus memperhitungkan maslahat dan keselamatan sosial.
Jelas bahwa, keempat etnis utama di NTB, yaitu Sasak, Samawa, Dompu, dan Mbojo, pada prinsipnya, tidak melegalkan pernikahan anak yang belum matang, mengutamakan kematangan usia, kehormatan keluarga, dan kemaslahatan sosial dan memandang bahwa pernikahan bukan sekedar syarat formal, tapi tanggung jawab besar yang butuh kesiapan lahir-batin.
Karena itu, menggunakan dalih adat untuk membenarkan pernikahan usia anak adalah bentuk penyimpangan dari makna adat itu sendiri. Yang perlu dilakukan hari ini bukan meromantisasi adat sebagai pembenaran, tapi menyemai kembali adat sebagai pelindung martabat anak dan generasi bangsa.
Bukankah adat berkembang bersama zaman. Maka, tafsir terhadap adat juga harus disesuaikan dengan nilai kemanusiaan dan perlindungan anak. Jika hukum negara melarang pernikahan anak, maka hukum adat pun sejatinya menjunjung tinggi kehormatan dan martabat manusia, harus bergerak sejalan.
Peran Tokoh Agama dan Ulama, Kunci Perubahan
Di NTB, suara tuan guru, kiyai, dan ustadz jauh lebih menggema dibanding suara pembesar atau selebritas. Maka para tokoh agama harus berdiri paling depan dalam perjuangan ini. Jangan hanya diam, apalagi menjadi wali atau saksi bagi pernikahan anak. Berdakwah di mimbar bukan hanya tentang surga dan neraka, tetapi juga membela masa depan anak-anak agar tumbuh dalam cinta yang sehat, bukan paksaan yang menyesakkan.
Fatwa yang hidup di masyarakat bukan hanya yang tertulis di kertas MUI, tetapi yang keluar dari lisan para tokoh agama di pengajian-pengajian kecil. Jika mereka bersuara lantang menolak pernikahan anak, maka gelombang perubahan bisa segera bergerak.
Gerakan Kolektif oleh Masyarakat, Sekolah, dan Pemerintah sebenarnya sudah berjalan, Pemerintah NTB telah mengeluarkan beberapa regulasi, seperti Surat Edaran Gubernur NTB tahun 2015 tentang Pendewasaan Usia Perkawinan, bahkan beruoa Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak, serta mendorong hadirnya Perda di kabupaten/kota, bahkan sampai tingkat Desa.
Namun regulasi saja tidak cukup. Perlu gerakan kolektif dari sekolah, komunitas, dan masyarakat. Sekolah harus memperkuat pendidikan kespro, konseling, literasi digital, serta membangun sistem pengawasan internal. Orangtua harus sadar bahwa internet adalah pisau bermata dua, dan media sosial bisa menjadi pintu menuju kedewasaan semu.
Pemerintah harus terus memperkuat sistem dan jaringan untuk pencegahan pernikahan usia anak, dan kearifan lokal harus dihidupkan kembali, bukan sebagai alat kontrol represif, tapi sebagai nilai moral kolektif.
Generasi Tidak Boleh Tumbang Sebelum Mekar
Sekali lagi, pernikahan usia anak bukan solusi. Ia adalah luka dalam yang diwariskan turun-temurun. Jika kita tak mampu mewariskan harta, setidaknya wariskanlah generasi yang kuat, sehat, dan berdaya.
Biarkan anak-anak kita tumbuh utuh, mengejar cita-cita mereka tanpa dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Jangan biarkan mereka matang dan membusuk di ranting kehidupan, hanya karena kita lalai menjaga pohonnya.
Saatnya semua bergerak. Karena jika kita diam, maka kita sedang menyetujui lahirnya generasi lemah. Dan itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan NTB. (*)
Catatan : Penulis juga merupakan lulusan Pasca Sarjana Univeritas Islam Negeri Mataram Program Studi Hukum Keluarga Islam dan Pendidikan Agama Islam