Jakarta (NTBSatu) – Aksi unjuk rasa menuntut percepatan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) yang dimotori Komite Percepatan Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP4S) masih berlangsung hingga hari ini.
Informasinya, aksi demonstrasi tersebut berlangsung dari tanggal tanggal 15 hingga 19 Mei 2025 berlokasi di Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat.
Aksi ini berujung pada blokade jalan di sekitar kawasan tersebut. Akibatnya, arus lalu lintas menuju Pelabuhan Poto Tano mengalami lumpuh total. Kendaraan-kendaraan tidak bisa melintas.
Hal tersebut mendapat sorotan dari banyak pihak. Salah satunya datang dari Guru Besar Sosiologi Universitas Mataram (Unram), Prof. Dr. Lalu Wiresapta Karyadi.
Menurut Prof. Karyadi, pemerintah daerah dan aparat keamanan harus segera mengatasi intrik yang berkembang di tengah masyarakat saat ini.
Ia berharap, intrik mengenai desakan PPS ini jangan sampai merugikan masyarakat dan negara. Apalagi dengan adanya penghambatan fasilitas strategis, seperti di Pelabuhan Poto Tano.
“Saya berharap gerakan seperti itu hanya sesaat. Mungkin karena mereka belum menyadari mengenai aspek-aspek penting tentang bagaimana sebenarnya pemekaran suatu wilayah itu,” ujarnya kepada NTBSatu, Jumat, 16 Mei 2025.
Penyegelan Pelabuhan Rugikan Negara dan Masyarakat
Karyadi menambahkan, mestinya momentum gerakan menuntut Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) ini tidak sampai menutup fasilitas ekonomi.
“Hal itu tentunya merugikan kedua daerah yang selama ini berinteraksi dengan begitu baik. Daerah dalam batas kepualuan, namun diikat oleh suatu wilayah, yaitu Provinsi NTB,” imbuh Karyadi.
Ia melanjutkan, ketika ada aksi penutupan fasilitas publik, seolah ingin menghambat mobilitas ekonomi, mobilitas masyarakat, dari kedua wilayah tersebut.
“Terutama yang berasal dari Lombok untuk masuk ke Pulau Sumbawa. Kesan ini yang terjadi, ini yang kita hindari. Kalau kesan ini yang terjadi, maka inilah yang menjadi bulir-bulir konflik,” papar Karyadi.
Sebagai informasi, penyegelan Pelabuhan Poto Tano tersebut, memicu rencana aksi balasan atau serupa di Pelabuhan Kayangan Lombok oleh Aktivis Lombok Bersatu pada, Sabtu, 17 Mei 2025.
Oleh sebab itu, ia melihat perlu pencerahan yang lebih manis untuk adanya penyadaran di masing-masing pihak. Baik dari masyarakat Pulau Sumbawa maupun Pulau Lombok.
“Demikian juga pada msyarakat, tokoh-tokoh di Pulau Lombok. Jangan melihat ini aksi yang diberikan sebuah reaksi yang sama. Yang tentunya ini cepat atau lambat akan merugikan daerah, dalam hal ini Provinsi NTB,” tegasnya.
Bahaya Jika Jadi Arena Politisasi
Lebih jauh, manatan Wakil Rektor I (WR I) Unram ini berharap gerakan DOB PPS ini tidak menggelinding ke ranah kepentingan politik segelintri orang.
“Yang kita sebut dengan terjadinya politisasi atas moratorium DOB ini. Sehingga tentunya merugikan kita semua,” tukasnya.
Sebab, ia menilai, selama ini masih ada semacam konflik laten (konflik tersembunyi) antara masyarakat Pulau Lombok dengan Pulau Sumbawa.
“Cepat atau lambat, jika ada sedikit pemantiknya, tentu nanti bisa jadi konflik manifest (konflik terbuka) yang merugikan kita semua, kalau kita tinjau dari teori konflik,” bebernya.
Maka dari itu, ia meminta kepada pihak yang menuntut pembentukan PPS agar melakukan aksi dengan cara-cara yang elegan dan humanis.
“Bisa memberikan simpati kepada pemerintah pusat agar tentunya dengan pertimbangan-pertimbang itu, DOB PPS agar bisa dilepas gembok moratoriumnya atau bisa terwujud,” terang Karyadi.
Sementara itu, ia juga mengajak masyarakat Pulau Lombok tidak perlu memberikan reaksi yang setara.
“Kalau Poto Tano terjadi penutupan, kita tutup juga di Kayangan. Hal itu kurang arif menurut saya. Mari kita duduk bersama. Bukan berarti msyarakat pulau lombok menghambat pembentukan PPS itu,” bebernya.
Terakhir, Prof. Karyadai menyampaikan bahwa usulan PPS ini, sudah ada di kantong pemrintah pusat.
“Tinggal persoalannya, pertimbangan pemerintah pusat untuk menentukan mana daerah yang dimekarkan duluan, mana yang ditunda, dan mana yang tidak perlu dilaksanakan,” tutup Karyadi. (*)