Mataram (NTBSatu) – Ekonomi NTB berada di titik rawan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi NTB mengalami kontraksi dua kali lipat. Minus 1,47 persen secara tahunan (y-on-y) dan minus 2,32 persen secara kuartalan (q-to-q) pada Triwulan I 2025.
Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal menjelaskan, penurunan pertumbuhan ekonomi bukan hanya terjadi di NTB. Namun, pertumbuhan ekonomi terjadi kontraksi hampir di semua negara.
“Semua daerah itu rata-rata terjadi (penurunan pertumbuhan ekonomi), karena situasi ekonomi globalnya mempengaruhi itu,” kata Iqbal, Kamis, 8 Mei 2025.
Pada kuartil I ini, kontraksi pertumbuhan ekonomi NTB sebagian besar disebabkan mandeknya ekspor tambang. Sektor ini biasanya menyumbang lebih dari 20 persen terhadap ekonomi NTB, tapi pada awal 2025 ekspornya nihil.
Karena itu, Iqbal berharap dengan situasi seperti ini, promosi pada berbagai bidang lainnya harus digencarkan. Salah satunya, memperbanyak event-event meetings, incentives, conventions and exhibitions (MICE).
“Termasuk salah satunya adalah Indonesia Gastrodiplomacy Series (IGS) 2025 yang tengah berlangsung hari ini. Hasil dari promosi ini bisa kita lihat tahun depan,” ungkapnya.
“Jadi nanti ada program kita akan membagikan ke mereka video-video, foto-foto perjalanannya untuk mereka upload di medsos mereka juga,” pungkasnya menambahkan.
Resesi Mengintai
Jika kuartal berikutnya kembali minus, NTB secara teknikal akan masuk ke dalam resesi.
Hal ini sekaligus jadi catatan triwulan pertama dan tantangan triwulan kedua, pemerintahan Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur, Indah Dhamayanti Putri.
Kontraksi ini sebagian besar disebabkan oleh mandeknya ekspor tambang. Sektor ini biasanya menyumbang lebih dari 20 persen terhadap ekonomi NTB, tapi pada awal 2025 ekspornya nihil.
“Terakhir ekspor tambang terjadi November lalu. Sejak itu berhenti total,” jelas Kepala BPS NTB, Wahyudin pada rilis Berita Ekonomi, Senin, 5 Mei 2025.
Akibatnya, nilai ekspor NTB anjlok drastis dari 573 juta dolar AS menjadi hanya 17 juta dolar AS.
Kendati demikian, tanpa menghitung sektor tambang, sebenarnya ekonomi NTB masih bisa tumbuh 5,57 persen secara tahunan. Hal ini ditopang oleh sektor pertanian dan perdagangan yang masih hidup.
Namun, menurut Dr. Firmansyah, Dosen Ekonomi Universitas Mataram (Unram), resesi teknikal ini perlu dilihat dalam konteks struktur ekonomi NTB yang unik.
“Sangat mungkin kita mengalami resesi teknikal, tapi dalam tipologi ekonomi seperti NTB. Di mana tambang mendominasi—kontraksi kuartalan adalah hal lumrah,” ujarnya kepada NTBSatu.
Firmansyah menjelaskan, meskipun tambang memberi andil besar secara statistik, nyatanya denyut ekonomi NTB juga ditopang oleh usaha-usaha kecil dan sektor informal.
“Jadi meski terjadi kontraksi dua kuartal berturut-turut, tekanan langsung ke dunia usaha tidak akan terlalu besar. Asal sektor kecil tetap bertahan,” tambahnya.
Ekonomi Lesu, Anggaran Mengendap
Sementara ekonomi lesu, dana pemerintah justru mengendap. Lambatnya realisasi proyek APBD, ekonomi seperti macet di tempat.
Pada akhir April 2025, Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) NTB mencatat, dana pemerintah yang belum tersalurkan mencapai Rp5,63 triliun. Rinciannya, Rp3,11 triliun dari APBD dan Rp2,52 triliun dari pusat.
“Harusnya sudah bisa masuk ke masyarakat untuk perkuat sektor produktif,” kata Kepala Kanwil DJPb NTB, Ratih Hapsari Kusumawardani.
Ratih menegaskan, pentingnya mendorong program yang menyentuh langsung ekonomi rakyat. Seperti bantuan alat tani, subsidi modal UMKM, hingga insentif usaha kecil di wilayah wisata dan pesisir.
Besarnya dana ini pun menjadi peluang strategis mendorong transformasi ekonomi di bawah kepemimpinan Gubernur Lalu Muhamad Iqbal dan wakilnya yang harus segera dieksekusi.
“Penguatan efektivitas penggunaan dana menjadi krusial, agar setiap rupiah belanja benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Terutama dalam mengurangi kemiskinan, memperkecil kesenjangan antar wilayah, dan meningkatkan kualitas hidup,” harap Ratih.
Kekhawatiran Kontraksi Lebih Dalam
Firmansyah mengatakan, jika tidak ada percepatan belanja dan kelonggaran ekspor, kontraksi bisa makin dalam.
Dan ketika ekonomi jatuh, yang paling dulu merasakan dampaknya adalah rakyat kecil: pedagang kecil, buruh tani, ibu-ibu rumah tangga, hingga pemuda yang baru cari kerja.
Ia mengingatkan, dalam kondisi ekonomi lesu seperti ini, pengeluaran pemerintah punya efek berganda (multiplier effect) yang besar.
Setiap proyek pembangunan bukan hanya menyerap tenaga kerja, tapi juga menghidupkan rantai pasok. Mulai dari bahan bangunan hingga warung makan di sekitar lokasi proyek.
“Government spending sangat berarti dalam situasi seperti sekarang. Proyek-proyek pembangunan harus segera bergerak, agar ada uang yang beredar, ada transaksi barang dan jasa, dan masyarakat tetap punya penghasilan,” pungkas Firmansyah. (*)