Mataram (NTBSatu) – Ekonomi Nusa Tenggara Barat (NTB) sedang berada di titik rawan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi NTB mengalami kontraksi dua kali lipat: minus 1,47 persen secara tahunan (y-on-y) dan minus 2,32 persen secara kuartalan (q-to-q) pada Triwulan I 2025.
Jika kuartal berikutnya kembali minus, NTB secara teknikal akan masuk ke dalam resesi.
Hal ini sekaligus jadi catatan triwulan pertama dan tantangan triwulan kedua, pemerintahan Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur, Indah Dhamayanti Putri (Iqbal-Dinda).
Tambang Diam, Ekspor Jeblok
Kontraksi ini sebagian besar disebabkan oleh mandeknya ekspor tambang. Sektor ini biasanya menyumbang lebih dari 20 persen terhadap ekonomi NTB, tapi pada awal 2025 ekspornya nihil.
“Terakhir ekspor tambang terjadi November lalu. Sejak itu berhenti total,” jelas Kepala BPS NTB, Wahyudin pada rilis Berita Ekonomi, Senin, 5 Mei 2025.
Akibatnya, nilai ekspor NTB anjlok drastis dari 573 juta dolar AS menjadi hanya 17 juta dolar AS.
Kendati demikian, tanpa menghitung sektor tambang, sebenarnya ekonomi NTB masih bisa tumbuh 5,57 persen secara tahunan.
Hal ini ditopang oleh sektor pertanian dan perdagangan yang masih hidup.
UMKM Jadi Penyelamat
Namun menurut Dr. Firmansyah, Dosen Ekonomi Universitas Mataram, resesi teknikal ini perlu dilihat dalam konteks struktur ekonomi NTB yang unik.
“Sangat mungkin kita mengalami resesi teknikal, tapi dalam tipologi ekonomi seperti NTB. Di mana tambang mendominasi—kontraksi kuartalan adalah hal lumrah,” ujarnya kepada NTBSatu, Kamis, 8 Mei 2025.
Firmansyah menjelaskan, meskipun tambang memberi andil besar secara statistik, nyatanya denyut ekonomi NTB juga ditopang oleh usaha-usaha kecil dan sektor informal.
“Jadi meski terjadi kontraksi dua kuartal berturut-turut, tekanan langsung ke dunia usaha tidak akan terlalu besar, asal sektor kecil tetap bertahan,” tambahnya.
Pertanian Perlu Dorongan
Dalam diskusi dengan Forum Wartawan Ekonomi Rabu, 7 Mei 2025, Kepala Perwakilan Bank Indonesia NTB, Berry A. Harahap memaparkan sektor pertanian menunjukkan resiliensi dan jadi tumpuan di tengah stagnasi tambang.
“Pertanian kita bisa tumbuh di atas 5 persen. Ini sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, dan menopang daya beli,” ujarnya.
Tapi produktivitas masih rendah. Hasil panen padi misalnya, masih di angka 6 ton per hektare, padahal bisa ditingkatkan hingga 9 ton dengan benih unggul.
Selain padi, subsektor seperti rumput laut juga punya potensi besar jika diproses dan diekspor.
Sementara ekonomi lesu, dana pemerintah justru mengendap.
Lambatnya realisasi proyek APBD, ekonomi seperti macet di tempat.
Pada akhir April 2025, Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi NTB mencatat dana pemerintah yang belum tersalurkan mencapai Rp5,63 triliun. Rinciannya, Rp3,11 triliun dari APBD dan Rp2,52 triliun dari pusat.
“Harusnya sudah bisa masuk ke masyarakat untuk perkuat sektor produktif,” kata Kepala Kanwil DJPb NTB, Ratih Hapsari Kusumawardani.
Ratih menegaskan pentingnya mendorong program yang menyentuh langsung ekonomi rakyat, seperti bantuan alat tani, subsidi modal UMKM, hingga insentif usaha kecil di wilayah wisata dan pesisir.
Besarnya dana ini pun menjadi peluang strategis mendorong transformasi ekonomi di bawah kepemimpinan Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur, Indah Dhamayanti Putri (Iqbal-Dinda) yang harus segera dieksekusi.
“Penguatan efektivitas penggunaan dana menjadi krusial, agar setiap rupiah belanja benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Terutama dalam mengurangi kemiskinan, memperkecil kesenjangan antar wilayah, dan meningkatkan kualitas hidup,” harap Ratih.
Kekhawatiran Kontraksi Lebih Dalam
Firmansyah mengatakan, jika tidak ada percepatan belanja dan kelonggaran ekspor, kontraksi bisa makin dalam.
Dan ketika ekonomi jatuh, yang paling dulu merasakan dampaknya adalah rakyat kecil: pedagang kecil, buruh tani, ibu-ibu rumah tangga, hingga pemuda yang baru cari kerja.
Ia mengingatkan, dalam kondisi ekonomi lesu seperti ini, pengeluaran pemerintah punya efek berganda (multiplier effect) yang besar.
Setiap proyek pembangunan bukan hanya menyerap tenaga kerja, tapi juga menghidupkan rantai pasok, mulai dari bahan bangunan hingga warung makan di sekitar lokasi proyek.
“Government spending sangat berarti dalam situasi seperti sekarang. Proyek-proyek pembangunan harus segera digerakkan, agar ada uang yang beredar, ada transaksi barang dan jasa, dan masyarakat tetap punya penghasilan,” pungkas Firmansyah. (*)