Mataram (NTBSatu) – Asi Kalende mempunyai sejarah panjang mengenai Kesultanan Bima. Bangunan itu diketahui sebagai istana pertama setelah Manggampo Jawa memindahkan Kerajaan Bima dari Bolo ke Rasanae.
Bangunan itu berdiri tahun 1302 M pada zaman Raja Bima ke-12 yakni Ma Wa’a Bilmana. Asi kalende mengalami dua kali renovasi sepanjang sejarah keberadaannya. Pertama tahun 1801 oleh raja Bicara M. Anwar Abdul Nabi. Kemudian kedua di zaman Raja Bicara M. Yakub (Ruma Kapenta Wadu) tahun 1858.
Asi Kalende terletak di RT 02, RW 01, Kelurahan Pane, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima yang dulu terkenal sebagai Kampo Nae, pemukiman para Rato atau Bangsawan. Meski tidak terawat, kini bangunan masih menjadi tempat berteduh oleh pewaris Tureli Nggampo atau Raja Bicara.
Rincian bangunan
Asi Kalende merupakan rumah panggung dengan 30 tiang penyangga. Di bagian depan terdapat sampana, tempat bersantai atau ruang tamu seperti tradisi rumah Bima pada umumnya.
Pintu utama menghadap ke Utara dengan empat jendela besar di bagian samping. Dua jendela bagian barat dan dua di timur. Di atas jendela masih terlihat ornamen Bunga Satako. Bagian atas pintu masuk sampana terdapat ornamen yang berbentuk hewan mitologi yaitu naga.
“Cara mengenal Asi Kalende ini berarti kita berbicara inti dari sejarah Bima pada masa silam,” kata Pemerhati Budaya Bima, Fahrurizki, Selasa 3 Desember 2024.
Secara terminologi, bangunan tersebut mempunyai makna pusat kebijakan pemerintahan. Kalende dalam bahasa Bima adalah loko artinya perut. Makna loko sebagai pusat semua bagian tubuh. Sedangkan Asi sebagai mengeluarkan yang identik dengan istana.
“Asi Kalende ini bermakna pusat segala kebijakan pemerintah dikeluarkan,” katanya.
Secara historis, Asi Kalende menjadi pusat pemerintahan mulai dari Manggampo Jawa memindahkan istana Kerajaan Bima dari Bolo ke Rasanae. Kemudian dilanjutkan oleh Raja Bilmana yang dikukuhkan pada tahun 1840, menggantikan saudaranya Indra Mbojo.
“Setelah itu, dijadikan sebagai istana khusus rumah bicara ketika raja Tureli Nggampo 1 atau Makapiri Solor yang mengembalikan lagi jabatan raja kepada anak pamannya Raja Ma Wa’a Ndapa tahun 1530,” jelasnya.
Mulai dari Makapiri Solor, konsep pemerintahan mulai digagas dalam ruang Asi Kalende. Dilanjutkan oleh Ma Ana Lima Dai dan diwariskan kepada Jalauddin pasca kepulangannya dari Goa tahun 1640. Setelah itu diwariskan lagi kepada Mantau Dana Ntori, anak dari Jalaluddin hingga Abdul Nabi yang merancang dan memperbaharui Undang-undang Bandar Bima.
“Raja Bicara yang menempati Asi Kalende terakhir adalah Muhammad Qurais,” ujarnya.
Asi Kalende, kata Fahrurizki, memiliki banyak filosofi. Seperti tiga tiang penopang sampana bermakna tiga majelis adat Bima. Kemudian, di bagian atas depan terdapat sebuah ornamen hewan mitologi yaitu naga.
“Abdul Nabi memberikan simbol itu sebagai filosofi keseimbangan dari pemerintah dan rakyat tanah Bima,” kata dia.
Bangunan tertua di Bima
Jabatan Fungsional Pamong Budaya Ahli Muda Dinas Pariwisata Kota Bima, Siti Rohanah, mengatakan, Asi merupakan salah satu peninggalan tertua Kesultanan Bima. Hingga kini, bangunan tersebut masih ditempati atau dikelola pewaris Raja Bicara.
“Saat ini ditempati secara turun temurun dari Raja Bicara,” tutur Siti Rohana.
Kondisi bangunan tersebut saat ini, masih jauh dari layak dan membutuhkan renovasi. Pemerintah Kota Bima juga selama ini tidak bisa berbuat banyak, karena bangunan itu masih dikelola pihak swasta.
“Kami sudah komunikasi dengan pihak pengelola dan menyarankan Asi Kalende ini diubah jadi yayasan seperti Asi Samparaja sebelumnya. Dengan demikian, pemerintah bisa menggelontorkan dana hibah untuk kebutuhan renovasi dan lainnya,” kata dia.
Asi Kalende menurut Rohana, memang perlu direnovasi. Apalagi bangunan bersejarah itu direkomendasikan sebagai cagar budaya oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Sumbawa bersama dua ODCG lain yakni, Kantor Telegram Belanda dan Langgar Melayu.
“Renovasi bangunan bersejarah seperti Asi Kalende tidak seperti kita memperbaiki bangunan pada umumnya. Pastinya kita harus melibatkan tim arkeolog. Kalaupun ada benda seperti kayu, paku atau lainnya diganti itu harus dengan model yang sama atau menyerupai. Jadi gak boleh asal-asalan,” pungkasnya. (*)