Mataram (NTBSatu) – Kejati NTB menetapkan empat tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Syariah Indonesia (BSI) tahun 2021-2022. Dua di antaranya merupakan DPRD Lombok Tengah.
Adapun empat orang yang penyidik pidana khusus (Pidsus) Kejati NTB jadi tersangka adalah DR, MSZ, MS dan M.
Berdasarkan informasi di lapangan, M merupakan anggota DPRD Lombok Tengah dari salah satu Partai politik (Parpol).
Saat dikonfirmasi NTBSatu petang ini, M mengaku mendapat surat penetapan tersangka dari penyidik Kejati NTB tidak lama ini.
“Iya benar. Sudah kita terima suratnya kemarin,” katanya.
Anggota DPRD Lombok Tengah mengatakan ia siap menjalani proses hukum yang berjalan. “Saya ikuti proses hukumnya,” tutupnya.
Terpisah, Kasi Penerangan Hukum Kejati NTB, Efrien Saputera mengaku belum mendapat informasi dari bidang pidana khusus. Ia menyebut, hanya mendapat inisial dari penyidik.
“Kita cuman dapat inisial nama tersangkanya,” ucapnya kepada NTBSatu.
Sebelumnya Efrien menyebut, tersangka baru itu masing-masing berinisial DR, MSZ, MS dan M. Mereka merupakan offtaker pada KUR BSI 2021-2022 tersebut.
Dengan begitu, total tersangka dugaan korupsi selama dua tahun ini berjumlah enam orang. Sebelumnya, penyidik Pidsus Kejati NTB telah menetapkan dua orang inisial SE dan WKI, pejabat Banks Syariah Indonesia.
Efrien mengaku pihaknya tidak menahan para tersangka. “Mengenai tahan tidaknya itu kewenangan penyidik,” jawabnya.
Peran dua tersangka pertama
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Elly Rahmawati menyebut, dua tersangka itu masing-masing berinisial SE dan WKI. Keduanya merupakan pejabat di bank plat merah tersebut.
“Mereka berperan sebagai pejabat utama di dua cabang,” kata Elly kepada wartawan di Ruang Media Center Kejati NTB, Selasa, 28 Mei 2024.
Dua orang itu ditetapkan sebagai tersangka dalam berkas penyidikan berbeda. SE merupakan pejabat utama di salah satu cabang BSI. Sementara, WKI dari cabang lain. Elly enggan membeberkan keduanya dari cabang mana saja.
Namun, yang pasti kedua pejabat BSI tersebut diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam penyaluran dana KUR untuk kelompok tani yang memproduksi porang dan sapi.
“Pokoknya ada penyimpangan, ada yang fiktif ada yang tidak, itu terkait (dana KUR) sapi dan porang,” jelasnya.
Sebagai infromasi, penetapan tersangka terhadap keduanya setelah penyidik menemukan indikasi Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan kerugian negara (KN).
Untuk penyaluran di Mataram, kerugian negara Rp8,3 miliar. “Cabang satunya lagi, indikasi kerugiannya Rp13 miliar,” bebernya.
Penyidik kejaksaan menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB. Hal itu memastikan angka pasti kerugian negara kasus yang berjalan dua tahun ini. Apalagi jaksa menetapkan pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Makanya kami harus memenuhi unsur kerugian keuangan negara dengan melakukan koordinasi dan secara intensif dan berikan data ke auditor BPKP,” jelas Elly. (*)